Background
SITUS GEGER HANJUANG Hasil Penelitian Dalam Bidang Ilmu Sastra Nusantara) Oleh : Casim/Chasim Casico, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNSIL. A.Letak Geografis Situs Geger Hanjuang Pandangan mata terarah ketika tiba pada sebuah kampung yang rasanya membuat mata ini semakin terasa dimanjakan oleh fanorama keindahan alamnya, kampung yang masih sejuk, tentram dan rasanya begitu damai. Angin menyiur, pepohonan dan sawah-sawah yang menambah kedamaian hati bila berada di kampung itu sebut saja kampung geger hanjuang. Letak geografis kampung geger hanjuang, desa linggamulya, rt/rw 15/03, kecamatan lewisari, kabupaten tasikmalaya. Kampung yang berada di Kabupaten Tasikmalaya Eks Kewadanaan Singaparna yang merupakan hasil pemekaran dari Desa Linggawangi Kecamatan Lewisari, Kabupaten Tasikmalaya. Desa Linggamulya ini memiliki prasasti/monument kebanggaan Kabupaten Tasikmalaya yaitu Prasasti Geger Hanjuang. Desa Linggamulya memiliki luas wilayah sekitar 548.900 ha/m2, dengan luas lahan yang berupa daratan sebagai besar digunakan untuk area pemukiman kira-kira sekitar 45.720 ha/m2, luas persawahan 206.890 ha/m2, luas perkebunan 268.135 ha/m2, luas perkuburan 2.174 ha/m2, luas pekarangan 5000 ha/m2 dan luas sarana yang lainnya 20.594 ha/m2. Desa Linggamulya secara administratif dibagi menjadi tiga dusun yaitu Dusun Rawa Girang, Dusun Rawa Hilir, dan Dusun Pinggirsari serta terdiri dari 23 RT yang tersebar diseluruh dusunnya. Waktu yang harus ditempuh dari kecamatan 2 km dengan waktu tempuh sekitar 10 menit dan dari ibu kota Kabupaten sekitar 7 km dengan tempuh waktu sekitar 30 menit. Wilayah Desa Linggamulya berada pada ketinggian 500 M di atas permukaan laut dengan spesifikasi daerah hamparan dataran rendah hingga berbukit. Keadaan Iklim di Desa ini beriklim tropis dengan rata-rata 464, 71 mm/tahun. Desa Linggamulya adalah Desa pertumbuhan yang berada di wilayah kecamatan lewisari Kabupaten Tasikmalaya dan merupakan salah satu Desa Pangkuan Hutan Lindung Kabupaten Tasikmalaya. Kampung Geger Hanjuang ini adalah kampung paling ujung di kecamatan Lewisari, karena keberadaan kampung ini tepat di kaki Gunung Galunggung. Wajar saja jika kita datang ke kampung tersebut, maka akan bersetubuh dengan dinginnya hembusan angin. Karena ketinggiannya seperti halnya puncak yang cukup tinggi dengan rumah-rumah yang masih belum semegah di kota-kota. Rumah panggung dan kesederhanaannya serta malam hari kita akan dimanjakan oleh lampu-lampu yang indah di dataran rendah. Inilah kampung Geger Hanjuang. B.Hubungan Masyarakat Terhadap Situs Geger Hanjuang Geger Hanjuang yang mempunyai arti Geger adalah Punggung, Hanjuang adalah pohon yang menjadi ciri khas dari kampung ini. Hubungan masyarakat terhadap situs geger hanjuang sangatlah erat, sebab masyarakat setempat masih mematuhi adat atau kebiasaan rutinitas yang dilakukan setiap tahunnya sebut saja upacara memperingati adanya situs geger hanjuang yaitu setiap tanggal 21 agustus, masyarakat akan berkumpul dan mengikuti upacara, upacara ini dihadiri oleh bupati beserta jajarannya. Saat upacara tidak pernah sesekali membacakan suatu kalimat yang masih dalam bentuk bahasa sunda buhun. Tra ba I gunna apuy nasta gomati sakakala rumatak disusu (k) ku batari hyang pun. Saat saya menanyakan kepada para sesepuh dan masyarakat sekitar, mereka pun tidak mengetahui apa maksud dari bahasa sunda buhun ini. Selain dari pada itu, masyarakat pun sangat membangakan situs ini. C.Hubungan dengan Tradisi Kelisanan Hubungan dengan tradisi kelisanan di kampung ini yaitu masyarakat masih percaya dengan adanya sesuatu yang sifatnya disampaikan dari mulut ke mulut (leluri) yaitu dengan menyampaikan beberapa informasi yang secara turun temurun dari generasi ke generasi selanjutnya atau sesuai dengan perkembangan zamannya. Yang masih sangat erat hubungannya dengan tradisi kelisanan di kampung ini adalah sebagian masyarakat setempat masih mempercayai hal-hal yang sifatnya sulit untuk dipercaya, adanya cerita mengenai asal-usul sebuah tempat yakni geger hanjuang yang berhubungan dengan sejarah perkembangan agama hindu – islam dengan berbagai peninggalan – peninggalan yang hingga saat ini masih diperbincangkan oleh berbagai kalangan masyarakat di pulau jawa khususnya. Yang menjadi kekuatan akan tradisinya yakni dari tahun 1111 selesainya geger hanjuang lalu membeku sampai tahun 1986 karena adanya berbagai partai khususnya pro dan kontra masalah agama. Pada tahun 1986 muncul kembali yang dinamakan situs geger hanjuang yang secara resmi menjadi situs bersejarah hingga sekarang dan menjadi suatu cirri khas dari kampung ini. Tutur Abah Enom dan Abah Muhsin, yang menyampaikan bahwa tradisi kelisanan di kampung ini masih dituturkan dari generasi ke generasi selanjutnya. D.Ritual atau Sasakala Kampung Geger Hanjuang Ritual yang sering dilakukan oleh kampung ini adalah ritual Hajat Buruan, hajat adalah upacara/ritual, Buruan adalah halaman jadi upacara yang dilakukan di depan halaman. Hanya saja upacara ini mempunyai syarat-syarat ketentuan, menurut Abah Enom, Abah Muhsin, Bapak Imin dan Ibu Itoh sebagi narasumber mengemukakan bahwa ritual yang sering dilakukan oleh masyarakat yaitu hajat buruan. Hajat buruan ini masyarakat berkumpul di depan halaman dengan membawa sesajen berupa bunga tujuh warna, ranggeian padi/ikatan padi, beas bereum, bubur bodas, kemenyan, kelapa hijau, buah-buahan serta masih banyak yang lainnya yang tidak bisa disebutkan. Upacara ini dipercaya masyarakat setempat untuk menolak bala “Tolak Bala” Tolak adalah menolak serta bala adalah balai atau celaka jadi tolak bala adalah menolak segala ancaman yang mengancam masyarakat misalnya dari gangguan roh-roh jahat, gangguan penyakit atau hama pada manusia, hewan maupun tumbuhan. Dengan mengadakan upacara ini maka masyarakat mempercayai akan terhindar dari segara mara bahaya, penyakit dan gangguan lainnya untuk bacaan seperti mantra tidak diketahui oleh para sesepuh saat di wawancara konon para leluhur dulu tidak menurunkannya kepada generasi selanjutnya disebabkan adanya pengaruh agama. Yang kedua adalah Tapak Tilas yang dimaksud tapak adalah jejak, Tilas adalah bekas, jadi Tapak Tilas adalah bekas jejak. Upacara ini dilakukan demi menjaga diri dari mara bahaya misalnya menjaga diri dari penjajahan atau adanya pengaruh dari DI, Belanda, Jepang. Upacara ini diperingati oleh masyarakat setempat setiap tanggal 21 agustus. Sebagai tanda masih mengenang atau menghormati suatu tradisi atau peninggalan benda-benda yang dianggap keramat sebab benda tersebut adalah peninggalan dari zaman kerajaan Galunggung. Yang ketiga adalah upacara Babar Lahiran, upacara ini cukup menarik dan sedikit aneh, yakni seorang ibu yang baru melahirkan anaknya harus mengambil darah ayam sebagai pengganti babaran, jika yang lahir perempuan maka harus menyembelih ayam betina, jika yang lahir laki-laki maka harus menyembelih ayam jantan. Lalu darahnya di coretkan ke wajah yang baru babaran atau melahirkan. Untuk doa ini tidak diketahui sebab orang terdahulu tidak mewariskannya sehingga tradisi ini sekarang sudah tiada di kampung ini sebab adanya beberapa pengaruh. Yang ke empat ritual disaat pengambilan batu di kampung tersebut konon katanya saat pengambilan batu yang bermuatan beberapa ton, serta dipercaya batu itu mempunyai kekuatan goib dan dipercayai adanya arca dan beberapa benda keramat di dalamnya. Batu tersebut tidak bisa diambil, digeser maupun diangkat oleh masyarakat atau warga se Desa Lewisari akan tetapi oleh 12 orang yang syaratnya harus warga asli dari kampung geger hanjuang bisa terangkat, dan batu tersebut yang saat ini menjadi pusat perbincangan yakni batu geger hanjuang yang membentuk seperti gunung galunggung. E.Fungsi Sosial dan Budaya Dilihat dari fungsi sosial mengenai situs geger hanjuang ini ada beberapa fungsi yakni yang pertama adalah sejak dulu setelah diresmikannya situs ini pihak Dinas atau Pemerintahan memberikan feed back kepada masyarakat setempat yakni geger hanjuang seperti pembagian sembako secara merata kepada masyarakat, tetapi untuk saat ini dari pihak Dinas atau Pemerintahan hanya memberikan secara simbolis (khusus untuk orang-orang tertentu) yang kedua dilihat dari gotong royong di kampung ini masih sangat kompak, misalnya masalah pembangunan dan saling membantu sama lainnya. Dilihat dari fungsi budayanya mengenai situs geger hanjuang yang pertama adalah Setiap tanggal 21 Agustus diadakannya upacara geger hanjuang atau Tapak Tilas. Kebiasaan masyarakat yang membuat beberapa kerajinan sebagai kearifan lokal dari kampung ini adalah pembuatan anyaman bambu besek atau pipiti yang dimanfaatkan untuk hajatan dan tempat untuk makanan, serta pembuatan kerajinan sangkar burung yang dimanfaatkan dari pohon bambu juga lalu dijual ke pasar. Dilihat dari sisi lain kampung ini menjadi pusat para arkeologi, sejarawan/ahli sejarah serta sebagian orang yang memanfaatkan tempat ini sebagai obyek penelitian atau observasi. F.Konteks Penuturan Dalam konteks penuturan mengenai Situs Kampung Geger Hanjuang tidak terikat oleh syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan lainnya. Masyarakat yang mengetahui cerita tersebut dapat membagikan ceritanya kepada siapa pun yang ingin mengetahuinya. Hal ini dikarenakan betapa pentingnya sebuah tradisi yang lahir sejak puluhan tahun bahkan ratusan tahun yang lalu hingga saat ini masyarakat dapat mengenangnya dan membagikan ceritanya kepada siapapun tanpa ada syarat-syarat tertentu. Selain itu, tidak pernah ada hal-hal yang aneh yang mungkin terjadi pada seseorang yang telah menceritakan tentang asal-usul kampung tersebut. Dengan demikian, konteks penuturan mengenai cerita Situs Geger Hanjuang boleh diceritakan oleh siapa saja tanpa adanya syarat-syarat tertentu. G.Waktu dan Tempat Observasi Hari / Tanggal : Selasa ¬– Rabu, 17 - 18 September 2013 Senin – Selasa, 23 – 24 September 2013 Waktu : 17.00 – 08.00 wib (Sosialisasi dan pendekatan) 19.00 – 12.00 wib (Observasi dan wawancara) Tempat : Kampung Geger Hanjuang, Desa Linggamulya RT/RW 13/03, Kecamatan Lewisari, Kabupaten Tasikmalaya. H.Narasumber 1.Nama : Abah Muhsin (Sesepuh) 83 Tahun, Kampung Geger Hanjuang, Petani : Abah Anom (Sesepuh), 80 Tahun, Kampung Geger Hanjuang, Petani : Bapak Imin, 47 Tahun, Kampung Geger Hanjuang, Buruh, Tani, Peternak : Ibu Itoh, 45 Tahun, Kampung Geger Hanjuang, Perawat Situs Geger Hanjuang “BELAJARLAH untuk menulis sebuah karya, dengan begitu akan menghadirkan karya yang luar biasa” ~ Chasim Casico