Background

ANALISIS KETERBACAAN BUKU PAKET BAHASA INDONESIA KELAS Xll SMA DENGAN MENGGUNAKAN FORMULA KETERBACAAN GRAFIK FRY



ANALISIS KETERBACAAN BUKU PAKET BAHASA INDONESIA KELAS Xll SMA DENGAN MENGGUNAKAN FORMULA KETERBACAAN GRAFIK FRY

Karya Tulis Ilmiah (KTI)
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pembelajaran Membaca

















PROGRAM STUDI PENDIDIKAN  BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SILIWANGI
TASIKMALAYA
2013




 
LEMBAR PENGESAHAN


ANALISIS KETERBACAAN BUKU PAKET BAHASA INDONESIA KELAS Xll SMA DENGAN MENGGUNAKAN FORMULA KETERBACAAN GRAFIK FRY
Karya Tulis Ilmiah (KTI)
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pembelajaran Membaca



Disahkan oleh,


Pembimbing I,




Titin Kusmini, M.Pd.
NIP. 195412141983032001
Pembimbing II,




Hj. Enen Khoeriyah, M.E.
NIP. 412096706











ABSTRAK
Kelompok 4 Pembelajaran Membaca Kelas 2B. 2013. Analisis Keterbacaan Buku Paket Bahasa Indonesia Kelas XII SMA dengan Menggunakan Formula Keterbacaan Grafik Fry. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Siliwangi Tasikmalaya.

Dalam kehidupan ini manusia tidak pernah telepas dari kegiatan berbahasa. Mata pelajaran Bahasa Indonesia sebagai salah satu bahan ajar di tingkat SMA memiliki tujuan untuk meningkatkan kemampuan berbahasa siswa, hal ini sejalan dengan salah tujuan mata pelajaran Bahasa Indonesia yang tercantum dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (Depdiknas, 2006), yakni mampu berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan ataupun tertulis. Kemampuan berbahasa sendiri meliputi empat aspek keterampilan berbahasa, yakni mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Keterampilan berbahasa tersebut bagi siswa di SMA, terutama kelas XII, menjadi salah satu hal yang harus dimiliki dan dicapai, hal ini akan menjadi salah satu modal para siswa untuk melanjutkan kehidupannya ketika mereka telah menyelesaikan proses belajarnya di SMA. Buku paket Bahasa Indonesia sebagai salah satu sumber ajar menjadi hal penting untuk menunjang keterampilan membaca dan keterampilan berbahasa yang lainnya. Jika buku paket Bahasa Indonesia di Kelas XII tidak sesuai sebagai sumber ajar, baik dari segi bahan bacaan, atau kesesuaian tingkat bacaannya, maka hal ini tentu akan menjadi kesulitan untuk mencapai tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas XII. Sebab itulah kami berusaha untuk melakukan analisis keterbacaan pada buku paket Bahasa Indonesia kelas XII dengan menggunakan formula keterbacaan Grafik Fry.
Tujuan analisis ini adalah untuk mengetahui kesesuaian keterbacaan pada buku paket Bahasa Indonesia kelas XII SMA, baik dari segi bahan bacaannya ataupun dari segi kesesuaian tingkat bacaannya, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah, apakah buku paket Bahasa Indonesia kelas XII SMA sudah sesuai dengan bahan bacaan dan tingkat keterbacaannya? Berdasarkan hal itulah maka metode yang kami gunakan adalah metode analisis dengan menggunakan salah satu formula keterbacaan, yakni Grafik Fry .
Dari analasis yang telah kami lakukan diperoleh data bahwa buku paket Bahasa Indonesia kelas XII (A.R. Syamsudin dkk. (2004). Kompetensi Berbahasan dan Sastra Indonesia. Solo:PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.) tidak sesuai sebagai bahan ajar di kelas XII SMA. Menurut pengukuran tingkat kesesuaian keterbacaan menggunakan formula Grafik Fry data-data tersebut terletak pada jenjang VIII dan IX, yakni  untuk tingkat SMP.


KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita panjatkan kepada Allah swt, karena dengan karunianyalah penulis dapat menyelesaikan tugas menganalisis keterbacaan yang berjudul “Analisis Keterbacaan Buku Paket Bahasa Indonesia Kelas 3 SMA”. Analisis buku paket ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah  Pembelajaran Membaca.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.             Ibu Titin Kusmini, M.Pd selaku dosen mata kuliah Pembelajaran Membaca;
2.             Ibu Hj. Enen Khoeriyah M.E selaku dosen pembimbing;
3.             Teman-teman yang telah memberikan dukungan dan motivasinya;
4.             Semua pihak yang telah mendukung dan memberi motivasi selama menyusun makalah ini.
Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat terutama bagi penulis dan umumnya bagi semua orang yang membacanya.

Tasikmalaya,  Januari 2013                                                                         Penyusun





DAFTAR ISI  


LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR............................................................................ ... i
DAFTAR ISI .......................................................................................... ... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah ............................................................................... ... 4
C.     Definisi Operasional ............................................................................... 4
D.    Tujuan Penelitian .................................................................................... 6
E.     Kegunaan Penelitian ............................................................................... 6
BAB II LANDASAN TEORETIS
A.     Hakikat Membaca ................................................................................... 7
B.     Hakikat Keterbacaan .............................................................................. 13
C.     Hasil Penelitian yang Relevan ................................................................ 18
D.    Anggapan Dasar ..................................................................................... 18
BAB III PROSEDUR PENELITIAN
A.    Metode Penelitian ................................................................................... 19
B.     Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 19
C.     Instrument Penelitian .............................................................................. 20
D.    Populasi Dan Sampel .............................................................................. 20
E.     Teknik Pengolahan Dan Analisis Data ................................................... 22
F.      Langkah-langkah Penelitian .................................................................... 22
G.    Waktu Penelitian ..................................................................................... 23
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.    Deskripsi Hasil Penelitian ....................................................................... 24
B.     Pembahasan Hasil Penelitian .................................................................. 24
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A.    Simpulan ................................................................................................. 31
B.     Saran ....................................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA



















BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Membaca merupakan kegiatan memahami  wacana. Wacana soal ujian akhir nasional beberapa waktu lalu, penulis perhatikan dari tahun ker tahun materi pelajaran bahasa Indonesia, mayoritas ruang lingkupnya adalah membaca pemahaman. Mayoritas materi yang tersaji dalam butir-butir UAN untuk mata pelajaran bahasa  Indonesia dikemas dalam sebuah wacana. Keadaan yang demikian hanya akan dapat diikuti oleh siswa yang benar-benar  mempunyai kemampuan membaca yang memadai atau hanya oleh siswa yang literat. Selain itu, wacana UAN itu akan dapat dipahami hanya bila wacana tersebut sesuai dengan keterbacaan siswa.
Selepas peserta didik mengikuti UAN khusus untuk mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia mereka banyak yang mengeluh kesulitan memahami  Bahasa dan Sastra Indonesia. Hal ini, terjadi karena soal ujian disajikan dalam bentuk wacana. Penulis mendengar keluhan-keluhan tersebut setiap akhir UAN, sehingga penulis berpendapat, apakah karena peserta didik itu tidak mempunyai kemampuan membaca yang layak, atau karena tingkat keterbacaan wacana materi bahasa Indonesia yang ada dalam UAN itu terlalu sukar. Untuk hal ini, penulis menilik pendapat ahli yaitu Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997: 111) yang menyatakan “semakin tinggi tingkat keterbacaan sebuah wacana, semakin mudah wacana tersebut, semakin rendah tingkat keterbacaan sebuah wacana, semakin sukar wacana itu.” Selanjutnya dinyatakan Harjasujan dan Yeti Mulyati (1997: 111) bahwa “pada kenyataannya kalimat kompleks jauh lebih sulit ketimbang kalimat sederhana atau kalimat tunggal. Bagimanapun kalimat-kalimat kompleks tentu sarat dengan ide, sarat gagasan, sarat dengan konsep sedangkan kalimat tunggal hanya mengandung sebuah ide, gagasan pokok, sebuah konsep tertentu”. Karena hal-hal tersebut, penulis mengamati wacana dalam soal UAN untuk mata pelajaran bahasa Indonesia SMP tahun 2006 sulit dipahami, karena butir-butir tesnya mayoritas berupa kalimat-kalimat kompleks yang sulit dipahami.
Kekompleksitasan kalimat merupakan salah satu faktor penilaian rendahnya tingkat keterbacaan. Dikemukakan Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997: 106) bahwa,
Keterbacaan mengandung arti hal yang berkenaan dengan apa yang disebut dalam bentuk dasarnya. Oleh karena itu, kita dapat mendefinisikan keterbacaan sebagai hal atau ihwal terbaca/ tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh pembaca.Jadi, keterbacaan itu mempersoalkan tingkat kesulitan atau tingkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu.

                        Berdasarkan pendapat tersebut menurut hemat penulis wacana dalam soal UAN materi pelajaran bahasa Indonesia untuk SMP tahun 2006 sulit dipahami peserta didik. Kesulitan dalam memahami wacana UAN tersebut karena kalimat-kalimat dalam butir-butir tes tersebut sangat kompleks.Alasan kedua karena peserta didik tidak mempunyai kemampuan membaca yang layak. Seperti telah penulis uraikan di atas, penulis tertarik pada alasan pertama yaitu wacana dalam soal UAN itu sulit dipahami karena kalimat-kalimatnya mayoritas kompleks.Karena itu, penulis mencoba melaksanakan penelitian tentang kenyataan yang kini merebak pada masyarakat bahwa wacana soal UAN sulit dipahami karena kalimat-kalimatnya panjang-panjang.
Penelitian ini penulis wujudkan dalam skripsi yang berjudul “Analisis Keterbacaan Wacana dalam Soal Ujian Akhir Nasional Mata pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia SMP tahun 2006 dengan Menggunakan Formula keterbacaan Grafik Fry.
Untuk menghindari terlalu luasnya penelitian yang penulis laksanakan, penulis perlu membatasi lingkup penelitian ini. Penelitian ini hanya akan menentukan tingkat keterbacaan Wacana dalam Soal Ujian Akhir Nasional Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SMP tahun 2006 dengan menggunakan Formula keterbacaan Grfik Fry”. Penulis tidak  akan melihat hal-hal lain yang tidak terkait dengan keterbacaan, tetapi penulis hanya akan mencoba menentukan tingkat keterbacaan wacana dalam soal UAN untuk mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997: 110) menyatak bahwa,
    Tolak ukur tingkat kesulitan kata di sini tidak didasarkan atas unsur semantisnya, melainkan didasarkan atas unsur panjang pendek kata yang bersangkutan.Seperti halnya kesulitan kalimat, kriteria kesulitan kata, juga didasarkan atas wujud (struktur) yang tampak.Jika sebuah kata atau kalimat yang secara visual tampak lebih panjang, artinya kalimat atau kata tersebut tergolong sukar.Sebnaliknya, jika kalimat atau kata yang secara visual tampak pendek, maka kata yang bersangkutan tergolong mudah.

       Untuk menggambarkan formula keterbacaan grafik Fry, alangkah perlunya penulis mengutip pendapat harjasujana dan Yeti Mulyati (1997: 113) yang menyatakan bahwa, “Grafik Fry merupakan hasil upaya menyederhanakan dan mengefisiensikan teknik penentuan tingkat keterbacaan wacana. Faktor-faktor tradisonal panjang pendek kalimat dan kata-kata sulit masih tetap digunakan. Namun, tingkat kesulitan kata diperkirakan dengan cara melihat jumlah suku katanya”.
Jadi, penelitian ini benar-benar terbatas yaitu penulis hanya melaksanakan penelitian ini dengan menganalisis keterbacaan wacana dalam soal UAN untuk mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dengan menggunakan grafik Fry sesuai dengan cara yang dikemukakan ahli-ahli di atas.
B.        Rumusan Masalah
Berdasarkan pengidentifikasian masalah-masalah yang terjadi saat ini, penulis mencoba melaksanakansuatu penelitian tentang tingkat keterbacaan wacana soal dalam Ujian Akhir nasional mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SMP tahun 2006 dengan menggunakan formula keterbacaan Grafik Fry”.  Karena itu, penulis merumuskanpermasalahan penelitian ini dalam bentuk pertanyaan yaitu, bagaimanakah tingkat keterbacaan wacana dalam soal Ujian Akhir Nasional mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SMP tahun 2006 dengan Menggunakan Formula Keterbacaan Grafik Fry?
C.       Definisi Operasional
Untuk memperjelas variable  penelitian ini penulis perlu menjabarkan istilah-istilah judul penelitian secara rinci sehingga mudah dipahami operasional penelitiannya. variabel-variabel yang ada dalam penelitian ini adalah, (1) Tingkat  keterbacaan wacana dalam soal Ujian Akhir Nasional mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SMP tahun 2006. (2) Formula keterbacaan Grafik Fry. Variabel-variabel tersebut secara rinci penulis jelaskan pada paparan berikut ini.
1.        Analisis Keterbacaan Wacana
Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997: 106) menyatakan bahwa “keterbacaan (readability) merupakan ukuran tentang sesuai-tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari segi tingkat kesukaran /kemudahan wacananya”. Jadi, analisis dalam penelitian ini yaitu analisis tingkat keterbacaan wacana dalam soal Ujian Akhir Nasional mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SMP tahun 2006.
2.        Soal UAN Bahasa dan Sastra Indonesia
Yaitu dimaksud dengan soal UAN Bahasa dan Sastra Indonesia yaitu soal-soal wacana Bahasa dan Sastra Indonesia dalam UAN tahun 2005. Jadi, penulis akan menganalisis soal-soal wacana yang terdapat dalam soal UAN Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMP Tahun 2006.
3.        Formula Keterbacaan Grafik Fry
Seperti telah penulis paparkan di atas bahwa penulis akan melaksanakan penelitian ini yaitu menganalisis tingkat-tingkat keterbacaan wacana dalam soal UAN mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SMP tahun 2006 dengan menggunakan grafik Fry. Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997:113) menyatakan bahwa “Formula keterbacaan grafik Fry mendasarkan formula keterbacaannya pada dua faktor yaitu panjang-pendeknya kata dan tingkat kesulitan kata yang ditandai dengan jumlah (banyak sedikitnya) suku kata yang membentuk setiap kata dalam wacana tersebut. Jadi, tingkat keterbacaan grafik fry tersebut penulis gunakan menganalisis wacana dalam soal UAN pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SMP tahun 2006.
D.       Tujuan Penelitian
Setiap kegiatan yang dilakukan manusia tidak lepas dari tujuan. Demikian pula penelitian yang penulis lakukan mempunyai tujuan yang akan dicapai. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tingkat keterbacaan wacana dalam soal Ujian Akhir Nasional mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia SMP tahun 2006 dengan menggunakan Grafik Fry.
E.        Kegunaan Penelitian
Setiap penelitian yang dilakukan tentu memperhatikan kemanfaatannya.Penulis berharap penelitian ini bermanfaat baik secara teoretis maupun secara praktis.
1.        Secara teoretis
Secara teoretis diharapkan dapat mendukung dan memgembangkan teori yang sudah ada khususnya teori membaca dan teori keterbacaan.
2.        Secara Praktis
Secara praktis diharapkan dapat memberikan gambaran tentang tentang bahan bacaan yang sesuai dengan tingkat keterbacaan.



BAB II
 LANDASAN TEORETIS
A.    Hakikat Membaca
1.      Pengertian Membaca
Aminudin (2000: 15) menyatakan bahwa,

Membaca disebut sebagai kegiatan memberikan reaksi, karena dalam membaca seeseorang terlebih daahulu melaksakan pengamatan terhadap huruf sebagai representasi bunyi ujar maupun tanda penulisan lainnya. Dari reaksi itu terlebih lanjut terjadi kegitan rekognisi, yakni pengenalan bentuk dalam kaitannya dengan makna yang dikandungnya serta pemahaman yang keseluruhannya masih melalui tahap kegiatan tertentu.

Membaca merupakan proses yang menuntut pebaca melakukan pertukaran ide dengan penulis melalui taks. Membaca adalah proses yang tidak ada ubahnya dengan proses ketika seseorang sedang berpikir dan bernalar.
Selanjutnya Aminudin (2000: 15) menyatakan bahwa,

Membaca adalah suatu proses. Maembaca pada dasarnya adalah kegiatan yang cukup kompleks.Disebut kompleks karena membaca melibatkan berbagai aspek baik fisik, mental, bekal, pengalaman, dan pengetahuan maupun aktivitas berpikir dan perasaan. Dalam membaca keseluruhan aspek itu terproses untuk mencapai tujuan tertentu melalui kegiatan (1) persepsi, (2)
Rekognisi, (3) kkompetensi, (4) interpretasi, (5) evaluasi, dan (6) kreasi dan utilisasi.

Menurut Harras dan Lilis Sulistianingsih (1998:17) berpendapat bahwa, “Membaca dapat pembaca dan penulis untuk membawa latar belakang dan hasrat masing-masing”.
Selain itu, Wiryodijoyo (1989: 2) mengemukakan bahwa, “ Membaca adalah salah satu cara berkomunikasi dengan orang lain, juga kepada diri sendiri”.
Pakar membaca lain, Harjasujana dan Vismaia S. Damianti (2003: 3) mengemukakan bahwa, “ Membaca merupakan suatu proses yang kompleks yang meliputi pemahaman makna, interprestasi makna, reaksi pembaca, serta penerapannya terhadap kehidupan. Membaca merupakan kegiatan aktif yang meminta setiap oarang mengerti akan makna, dan membawa setiap idenya ke halaman yang bercetakan. Dengan demikian setiap lambang akan memberi makna secara cepat sesuai dengan pola penulisan dan pengalaman serta intelegensi dan kebiasaan membaca.

Berdasarkan pada pengertian para ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa membaca adalah kegiatan yang dilakukan manusia untuk memahami semua informasi, gagasan, yang dilakukan penulis melalui media bahasa tulis. Membaca adalah kegiatan berfikir dan bernalar.Membaca adalah kegiatan memahami makna bacaan baik yang tersirat maupun tersurat.
2.      Aspek-aspek Membaca
a.        Keterampilan mengenali kata,
b.        Keterampilan mengamati tanda baca,
c.         Keterampilan memahami makna yang tersurat,
1)        keterampilan memahami makna kata,
2)        keterampilan memahami makna frase,
3)        keterampilan memahami makna kalimat,
4)        keterampilan memahami makna paragraf,
5)        keterampilan memahami makna subab,
6)        keterampilan memahami makna bab.
d.    keterampilan membaca kritis
1)        kemampuan menemukan ide pokok atau gagasan atau bacaan satu bacaan secara tersurat,
2)        kemampuan menemukan tema cerita,
3)        kemampuan membuat kesimpulan dan fakta,
4)        kemampuan menganilisis fakta-fakta penunjang,
5)        kemampuan mengorganisaikan fakta-fakta,
6)        kemampuan memebedakan fakta dan opini,
7)        kemampuan membedakan realitas dengan fantasi,
8)        kemampuan menemukan unsur-unsur propaganda,
9)        kemampuan menemukan latar belakang tujuan pengarang,
10)    kemampuan meramalkan dampak,
11)    kemampuan menilai kebenaran isi bacaan,
12)    kemampuan menilai kesesuaian judul dengan pengembangan karangan,
e.    keterampilan membaca kreatif
1)        kemampuan membuat ringkasan,
2)        kemampuan membuat outline (kerangka karangan),
3)        kemampuan menyusun resensi,
4)        kemampuan menerapkan isi bacaan dalam konteks sehari-hari,
5)        kemampuan esai balikan (Nurhadi, 1987)

Membaca merupakan keterampilan yang kompleks yang melibatkan serangkaian keterampilan-keterampilan kecil lainnya. Karena itu Tarigan (1992: 2) mengemukakan bahwa, secara garis besar membaca itu terdiri atas dua aspek yaitu sebagai berikut:
a.         Keterampilan yang bersifat (mechanical skills) yang dapat dianggap berada pada urutan yang paling rendah (lover order). Aspek tersebut meliputi:
1)        Pengenalan bentuk huruf,
2)        pengenalan unsur-unsur linguistik (fonem atau grafem, kata, frase, pola klausa, kalimat, dan lain-lain),
3)        pengenalan hubungan koresponden pola ejaan dan huruf (kemampuan menyeruakan bahan tertulis atau “ to back of print” ),
4)        keepatan membaca bertaraf lambat.
b.        Keterampilan yang bersifat pemahaman (comprehenssion skilss) yang dapat dianggap berada pada urutan yang lebih tinggi. Aspek ini meliputi:
1)        Memahami pengertian sederhana (gramatikal, leksikal, dan retorikal),
2)        memahami signifikasi atau makna, antara lain (maksud dan tujuan pengarang, relevansi atau keadaan, kebudayaan, dan reaksi pembaca),
3)        evalusi atau penilaian (isi dan bentuk),
4)        kecepatan membaca yang fleksibel, yang mudah disesuaikan dengan keadaan.

3.         Jenis-Jenis Membaca
Tarigan (1987: 22) mengemukakan bahwa membaca itu dibagi atas dua jenis, yaitu membaca nyaring dan membaca dalam hati.
Membaca nyaring, membaca bersuara, atau membaca lisan (reading out loud, oral reading, reading aloud).
Membaca nyaring adalah suatu aktivitas atau kegiatan yang merupakan alat bagi guru, murid ataupun pembaca bersama-sama dengan orang lain atau pendengar untuk menangkap serta memahami informasi, pikiran dan perasaan seorang pengarang. Pembaca nyaring harus menggunakan segala keterampilan yang telah dipelajarinya sebagai tambahan bagi keterampilan lisan untuk mengkomunikasikan pikiran dan perasaan pada orang lain. Pada pembaca nyaring selain perhatian dan ingatan juga harus aktif ingatan pendengaran (auditory memory) dan ingatan yang terpaut dengan otot-otot kita (motor memory).
a.       Membaca dalam hati (silent reading)
Pada saat membaca dalam hati kita hanya menggunakan ingatan visual, yang melibatkan pengaktifan mata dan ingatan (Tarigan, 1987 : 29). Berdasrkan pendapat tersebut  maka ingatan pembaca harus berpusat pada bahan bacaan yang dihadapinya serta mata dan ingatan harus tertuju pada bahan bacaan. Tujuan membaca dalam hati adalah untuk mendapatkan informasi.Membaca dalam hati dibagi menjadi 2 jenis, yaitu membaca ekstensif dan membaca intensif.
1)        Membaca ekstensif  berarti membaca luas. Objeknya meliputi sebanyak mungkin teks dalam waktu sesingkat mungkin.


Membaca ekstensif terbagi menjadi:
a)        Membaca survei
b)        Membaca sekilas, dan
c)        Membaca dangkal.
2)        Membaca intensif adalah studi seksama, talaah teliti, dan pengamatan terperinci  yang dilaksanakan dalam kelas terhadap dalam satu tugas yang pendek kira-kira 2-4 halaman per hari, yang termasuk membaca intensif ini antara lain:
a)        Membaa telaah isi, yakni membaca dan menelaah isi suatu bacaan yang menuntut ketelitian, pemahaman, kekritisan berpikir, serta keterampilan menangkap ide-ide yang tersirat dalam bahan bacaan.
b)        Membaca telaah bahasa meliputi : membaca bahasa dan membaca sastra
c)        Membaca bahasa adalah :
(a)      Membaca bahasa adalah membaca Dengan tujuan untuk memperbesar daya kata dan mengembangkan kosa kata .
(b)     Membaca sastra adalah membaca untuk mendapatkan keserasian, kehormatan antara keindahan bentuk dan isi.
4.      Tujuan Membaca
Tujuan membaca merupakan hal penting dalam kegiatan membaca. Tujuan membaca yang jelas akan memberikan motivasi  yang besar bagi seseorang. Seseorang yang sadar sepenuhnya akan tujuan membacanya akan dapat mengarahkan sasaran daya pikir kritisnya dalam mengolah bacaan sehinga memperolaeh kepuasan dalam membaca. Parah ahli sepakat bila tujuan membaca merupakan modal utama untuk melakukan kegiatan membaca. Karena tujuan membaca dipengaruhi beberapa faktor maka para ahli merumuskan tujuan membaca berbeda satu sama lain. Menurut Wafles dalam Nurhadi (1987 : 136), dinyatakan bahwa tujuan membaca itu meliputi hal-hal sebagai berikut:
a)    Mendapat alat tertentu (instrumental effect), yaitu membaca untuk tujuan memperoleh sesuatu yang bersifat praktis, misalnya membuat masakan, cara membuat topi, cara memperbaiki bola lampu, dan sebagainya
b)   Mendapat hasil yang berupa prestise, (prestige effect), yaitu membaca dengan tujuan ingin mendapat rasa lebih (self image) dibandingkan orang lain dalam lingkungannya. Misalnya seorang tokoh merasa lebih bergengsi bila bacaannya majalah-majalah yang  terbit diluar negeri
c)    Memperkuat nilai-nilai pribadi atau keyakinan, misalnya membaca untuk mendapat kekuatan keyakinan pada partai politik yang kita anuk, memperkuat keyakinan agama, menadapt nilai-niali baru dari sebuah buku filasapat dan sebagainya.
d)   Mengganti pengalaman ekstetik yang sudah usang, misalnya membaca untuk mendapat sensasi-sensasi baru melalui penikmatan emosional bahan bacaan (buku cerita, novel, roman, cerita pendek, cerita kriminal, biografi tokoh terkenal, dan sebagainya)
e)    Membaca untuk menghindarkan diri dari kesulitan, ketakuan, atau penyakit tertentu.

Tampubolon (1987: 210) mengungkapkan bahwa tujuan membaca secaraa garis besar meliputi 3 hal yaitu :
a)         Membaca untuk studi adalah membaca untuk menemukan informasi –informasi yang diperoleh untuk menyelesaikan masalah studi yang pada dasarnya akan mendapatkan pengetahuan dalam bidang ilmu atau disiplin ilmu yang dituntut ;
b)         Membaca untuk usaha ialah membaca untuk menemukan dan memahami berbagai informasi yang bersangkutan  dengan usaha yang dilaksanakan, seperti pekerjaan kantor, kegiatan perusahaan atau dagang, organisasi, pendidikan, rumah tangga dan lain-lain.
c)         Membaca untuk kesenangan ialah membaca untuk mengisi waktu senggang dan memuaskan perasaan serta imajinasi.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas maka penulis menyimpulkan bahwa tujuan membaca adalah untuk studi, rekreasi dan hiburan, dan intuk memperoleh informasi terkini dan aktual.
B.     Hakikat Keterbacaan
1.      Pengertian Keterbacaan
Untuk menentukan bahan ajar  membaca, guru diperkenankan memilih untuk memilihkan bahan bacaan yang layak bagi para siswanya hal ini merupakan hal yang tidak dapat diabaikan, terlebih-lebih bagi gur bahasa indonesia, karena secara formal pengajaran membaca dibebankan pada guru bidang studi bahasa indonesia. Dikemukakan Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997: 105) bahwa “buku paket, buku teks sebagai pegangan dasar dalam melaksanakan kegiatan belajar dewasa ini sangat banyak jumlahnya, namun tidak berarti guru harus terpaku dengan satu macam bahan ajar yang ada”. Jadi, dengan menentukan bahan bacaan yang layak untuk dikonsumsi siswa guru harus mampu memilihkan bahan bacaan yang layak baca untuk para sisiwanya, salah satunya guru harus memahami kriteria penentuan kelayakan bahan bacaan itu dengan menentukan tingkat keterbacaan sebuah bacaan/wacana.
Sebagaimana penulis kemukakan bahwa untuk menentukan tingkat kelayakan sebuah wacana dapat dibaca siswa, kita dapat menganalisisnya dengan formula keterbacaan. Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997: 106) mengemukakan bahwa,
Keterbacaan merupakan istilah dalam bidang pengajaran membaca yang memperhatikan tingkat  kesulitan materi yang sepantasnya dibaca seseorang. Keterbacaan merupakan ahli bahsa readibility. Bentuk readability merupakan kata turunan yang dibentuk oleh bentk dasar “readable” ‘dapat dibaca’ atau “terbaca”. Konfiks ke-an dalam bentuk keterbacaan mengandung arti “hal yang berkenaan” dengan apa yang disebut dalam bentuk dasarnya. Oleh karena itu, kita dapat mendefinisikan “keterbacaan” sebagai hal ihwal terbaca tidaknya suatu bahan bacaan tertentu oleh pembacanya.

Jadi, keterbacaan ini mempersoalkan tingkat kesuulitan atau tingkat kemudahan suatu bahan bacaan tertentu bagi peringkat pembaca tertentu.
a. Formula keterbaaan grafik Fry
Dewasa ini ada beberapa formula keterbacaan yang lazim digunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan sebuah wacana. Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997: 107) mengemukakan bahwa,
Formula-formula keteterbacaan yang terdahulu, memang bersifat kompleks dan menunutut pemakaiannnya untuk memiliki kecermatan menghitung berbagai variable.Penelitian yang terakhir membuktikan bahwa ada dua faktor yang berpengaruh terhadap keterbacaan, yakni a) panjang pendeknya kalimat, b) tingkat kesulitan kata. Pada umumnya semakin panjang kalimat dan semakin panjang kata-kata, maka bahan bacaan yangdimaksud semakin sukar. Sebaliknya, jika kalimat dan katanya pendek-pendek, maka wacana dimaksud tergolong wacana yang mudah.

Dijelaskan pula Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997: 107)

Formula-formula keterbacaan yang dewasa ini sering digunakan untuk mengukur keterbacaan wacana, tampaknya berkecenderungan kepada dua tolok ukur tadi.Panjang kalimat dan kesulitan kata merupakan dua faktor utama yang melandasi alat-alat pengukur keterbacaan yang mereka ciptakan. Formula-formula keterbacaan yang mengacu kepaa kedua patokan tersebut, misalnya keterbacaan – keterbacaan yang dibuat spache, dale dan chart, gunnig, fry, ragor, dan lain-lain.

Harjasujana dan Yeti Mulyati (1997 : 135) mengemukakan bahwa,
Dari sekian banyak formula keterbacaan yang diperkenalkan orang, grafik fry dan grafik raygor merupakan dua alat yang dipandang praktis dan mudah menggunakannya. Namun karena alat tersebut diciptakan untuk mengukur wacana bahasa inggris, maka pemakaiiannya untuk wacana bahasa Indonesia harus disesuaikan.

Harjasujana dan Yeti mulyati (1997 : 85) lebih jauh mengemukakan bahwa, “Banyak rumus yang dapat digunakan guru untuk mengukur tingkat keterbacaan suatu wacana. Penggunaan rumus keterbacaan tersebut dapat dilakukan guru untuk memudahkan dalam persiapan atau mengubah bahan bacaan dengan jalan meninggalkan atau menurunkan tingkat keterbacaan antara lain grafik fry.
Grafik fry merupakan hasil upaya untuk menyederhanakan dan pengefisienan teknik penentuan tingkat keterbacaan.
Petunjuk menggunakan grafik fry dikemukakan harjasukana dan Yeti Mulyati (1997: 116) sebagai berikut.
1)         Pilihlah penggalan yang representatif dari wacana yang hendak anda tentukan tingkat keterbacaannya. Karena andahanya menggunakan sampel dari materi cetak yang akan anda tentukan tingkat keterbacaannya, penting sekali anda memilih bagian artikel atau buku yang terbaik untuk diukur tingkat keterbacaannya, hitunglah 100 buah kata dalam wacana yang dipilih itu, mulia dengan kata pertama dalam kalimat. Anda tidak dibenarkan dalam menghitung kata-kata yang ada dalam judul ataupun sub-sub judul. Hitunglah wacana itu secermat-cermatnya sehingga meliputi angka-angka dan singkatan-singkatan. Yang di kiri kanannya berpembatas. Dengan demikian Budi, IKIP, 1967 dan ditambah masing-masing merupakan suatu perkataan.
2)         Hitunglah jumlah kalimat dalam wacana 100 kata itu. Prosedur ini mudah, sebab anda dapat menggunakan batas-batas kalimat yang melihat batas-batas yang seperti titik, tanda seru, dan tanda Tanya. Jika kalimat yang terakhir tidak berhenti pada kata yang ke 100, hitunglah berapa bagian dari kalimat yang terakhir itu yang terdiri atas kata-kata yang termasuk ke dalam keseratus kata yang anda pilih. Jika kalimat terakhir itu terdiri atas 17 perkataan, dan hanya ada satu kata yang termasuk ke dalam 100 kata, maka bagian kalimat yang terakhir itu adalah 0,058 dibulatkan menjadi 0,1 kalimat. Yang diperhitungkan adalah perpuluhan yang terdekat. Jika jumlah kalimat sebelumnya adalah 10 buah, maka jumlah seluruhnya ada 100 buah kalimat.
3)         Perhatikan grafik fry, kolom tegak lurus menunjukan jumlah suku kata perseratus kata antara kolom vertikal dan baris mendatar menunjukan tingkatan atau kelas-kelas pembaca yang diperkirakan mampu membaca wacana yang terpilih itu tanpa frustasi. Jika persilangan antara kolom vertical dan baris mendatar itu ada dalam daerah yang gelap, hasilnya tidak abash. Guru harus memilih wacana lain dan mengulangi langkah-langkah yang sama.
4)         Camkanlah bahwa yang dilakukan oleh fry itu tidak lebih dari suatu perkiraan. Penyimpangan mungkin terjadi baik ke atas maupun ke bawah. Jika perkiraan menunjukan angka “5” misalnya, pada grafik fry, maka bacaan itu mungkin cocok untuk kelas 5+1 atau kelas 5-1.
5)         Untuk mengatur tingkat keterbacaan sebuah buku berbeda dengan langkah kerja tadi. Pengukuran keterbacaan sebuah buku hendaknya sekurang-kurangnya dilakukan sebanyak tiga kali percobaan dengan pemilihan sampel yang berbeda-beda. Si pengukur hendaknya mengambil pilihan sampel wacana, yakni wacana dari bagian awal buku, dari bagian tengah buku,dan dari bagian akhir buku. Ntuk artikel dan jurnal atau suran kabar, pengukuran keterbacaan wacananya cukup dilakukan saru kali, kecuali jika penulisannua berbeda-beda.

Selanjutnya dalam mengatur tingkat keterbacaan sebuah buku si pengukur harus menempuh langkah-langkah petunjuk penggunaan grafik fry yang kemudian menghitung hasil rata-ratanya. Data hasil rata-rata tersebut harus dijadikan dasar untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana buku tersebut.
Dikemukakan harjasujana, dkk (1988 : 4.13)

Formula keterbacaan grafik fry cocok sekali digunakan pada wacana bahasa inggris. Namun kadang guru perlu mengevaluasi bacaan yang terdiri atas kata-kata yang jumlahnya kurang dari seratus buah, seperti pertanyaan-pertanyaan dalam tes, petunjuk untuk melakukan kegiatan tertentu. Untuk menentukan wacana-wacana yang demikian yang jumlah katanya kurang dari 100 perkiraan kita dapat menggunakan prosedur penggunaan grafik fry, dengan mengacu pada daftar konveksi grafik fry.

Lebih lanjut Harjasujana dan Yeti Mulyati (1996/1997: 124) menyatakan bahwa langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menganalisis wacana yang kata-latanya kurang dari seratus yaitu sebagai berikut.
Prosedur kerja untuk menempuh langkah-langkah grafik fry yang wacananya kurang dari 100 kata :
Langkah (1)
Hitunglah jumlah kata dalam wacana yang akan diukur tingkat keterbacaannya itu dan bulatkan pada bilangan puluhan yag terdekat. Jika wacana tersebut terdiri atas 54 buah kata,  misalnya, maka jumlah tersebut diperhitungkan sebagai 50, jika jumlah wacana itu ada 26 buah, maka bilangan kebulatannya adalah 30.
Langkah (2)
Hitunglah jumlah suku kata dan kalimat yang ada dalam wacana tersebut.kegiatan ini dilakukan dengan cara yang sama seperti langkah 2 dan 3 pada penggunaan petunjuk grafik fry (seperti telah kita demonstrasikan) pada penjelasan terdahulu.
Langkah (3)
Perbanyak jumlah kalimat dan suku kata (hasil perhitungan dua tersebut) dengan angka-angka yang ada dalam daftar konfeksi seperti yang tampak di bawah ini. Dengan demikian guru dapat menggunakan lagi grafik fry menurut tata tertib yang sudah dijelaskan terdahulu. Dengan kata lain data yang di plotkan ke dalam grafik adalah daftar yang telah di perbanyak dengan daftar konfeksi.
Untuk lebih jelasnya penulis kemukakan daftar konversi grafik fry.
Daftar konversi untuk grafik fry
Jika dalam jumlah kata dalam wacana itu sejumlah
Perbanyak jumlah suku kata dan kalimat dengan bilangan berikut
30
3,3
40
3,5
50
2
60
1,67
70
1,43
80
1,25
90
1,1
Harjasujana dan Yeti Mulyati, (1996/1997: 125)
C. Penelitian yang relavan
Penelitian yang relavan dengan penelitian yang penulis laksanakan yaitu dengan penelitian yang dilaksanakan meneliti tingkat keterbacaan buku teks Bahasa Indonesia dengan menggunakan grafik fry sebagai alternatif bahan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
D. Anggapan dasar
“Anggapan dasar adalah sebuah titik tolak penelitian yang keberadaannya diterima penyidik” (Surachmad, 1990 : 107). Berdasarkan hal itu, maka titik tolak penelitian itu sebagia berikut.
1.      Formula keterbacaan merupakan formula atau alat untuk menentukan tingkat kesulitan materi bacaan.
2.         Wacana dalam soal Ujian Akhir Nasional merupakan bahan pembelajaran membaca di SMP.
Grafik fry ditentukan sebagai salah satu alat untuk menentukan keterbacaan.






BAB III
PROSEDUR PENELITIAN
A.      Metode Penelitian
Dalam suatu penelitian ilmiah metode sangat diperlukan. Metode digunakan sebagi cara untuk mengumpulkan data. Suatu metode dapat dikatakan baik apabila dapat ,memberi hasil sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik.
Penulis menggunakan metode deskriptif analitik karena penulis akan mendeskripsikan hasil analisis keterbacaan wacana dalam buku paket Bahasa dan Sastra Indonesia SMA kelas Xll. Sebagaimana dinyatakan Sudjana (1991: 52) bahwa, “Metode penelitian deskriptif digunakan apabila bertujuan untuk mendeskripsikan atau menjelaskan peristiwa dan kejadian yang ada pada masa sekarang. Termasuk dalam metode ini studi kasus, survai, studi pengembangan, dan hasil korelasi”. Karena itulah penulis memikih metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik.
B.       Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data penelitian ini penulis mencari buku paket Bahasa dan Sastra Indonesia SMA kelas Xll. Setelah buku paket Bahasa dan Sastra Indonesia SMA kelas Xll penulis peroleh mulailah penulis menganalisisnya dengan menggunakan formula grafik fry.
Cara menganilis dengan grafik fry pertama penulis menghitung dulu jumlah kata yang ada pada setiap wacana tersebut. Selanjutnya penulis menentukan jumlah kalimat dan jumlah suku kata yang ada dalam wacana tersebut.
C.        Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah formula grafuk fry. Instrumen tersebut dapat penulis jabarkan berikut ini.
D.      Populasi dan Sampel
1.        Populasi
“Setiap Penelitian memerlukan data atau informasi yang diperoloeh dari sumber data untuk keperluan menjawab masalah hasil penelitan atau untuk menguji hipotesis. Seluruh sumber data memungkinkan memberikan informasi yang berguna bagi pemecahan masalah penelitian” (Arikunto, 1989: 102). Untuk itu, maka populasi penelitian ini adalah wacana dalam buku paket Bahasa dan Sastra Indonesia SMA kelas Xll.
2.         Sampel
Agar penelitian tidak terlalu luas, maka penulis mengambil sampel dari populasi yang dapat memiliki sebuah populasi. Sampel yang penulis gunakan dalam penelitian ini menggunakan sampel bertujuan untuk purposive sampel. Sampel ini dilakukan dengan mengambil subjek bukan atas strata, random, atau daerah tetapi didasarkan atas adanya tujuan tertentu. Sampel tersebut dikemukakan Arikunto (1992: 113) mempunyai syarat-syarat yang perlu dipenuhi, yaitu:
a.    Pengambilan sampel harus didasarkan atas ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik yang merupakan ciri-ciri pokok populasi.
b.   Subjek yang diambil sebagai sampel benar-benar merupakan subjek yang paling banyak mengandung ciri-ciri yang terdapat pada populasi.
c.       Penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan cermat di dalam studi pendahuluan.
Berdasarkan syarat-syarat penentuan sampel tersebut, maka penulis dapat menentukan sampel penelitian ini adalah wacana dalam buku paket Bahasa dan Sastra Indonesia SMA kelas XII sebanyak 3 wacana, yakni wacana yang terletak di awal, tengah dan akhir buku.

E.        Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data
Penulis mengolah penelitian ini mengikuti langkah-langkah menganalisis wacana dengan formula keterbacaan grafik fry.
Mula-mula menghitung jumlah kalimat dan jumlah suku kata dalam wacana tersebut. Setelah semua wacana dalam soal-soal itu diketahui jumlah kalimat dan jumlah suku katanya penulis menganalisisnya dengan cara memplotkan perhitungan-perhitungan tersebut ke dalam grafik fry. Hasil yang diperoleh penulis klasifikasikan pada peringkat kelas berdasar pafa titik temu persilangan antara jumlah kalimat dan jumlah suku kata pada grafik fry.
F.        Langkah-langkah Penelitian
Langkah-langkah penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut.
1.        Penulis mencari buku paket Bahasa dan Sastra Indonesia SMA kelas Xll.
2.        Wacana pada buku paket Bahasa dan Sastra Indonesia SMA kelas Xll tersebut penulis analisis dengan menggunakan grafik fry.
3.        Penulis memplotkan perhitungan di atas ke dalam grafik fry.
4.        Penulis mengkalsifikiasikan wacana dalam buku paket Bahasa dan Sastra Indonesia SMA kelas Xll tersebut dalam peringkat kelas.




G.       Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu penelitian ini berkisar antara bulan Desember dan Januari 2012. Karena penelitian ini merupakan (study book) studi literatur jadi, tempat penelituannya tidak ditentukan. Penulis menganalisis wacana dalam buku paket Bahasa dan Sastra Indonesia  SMA kelas Xll tersebut, pada bulan Januari 2012. Penulis menyusun laporan hasil penelitian pada awal Januari 2012.















BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.    Deskripsi hasil Penelitian
Dalam penelitian yang penulis lakukan terhadap Buku Paket Bahasa Indonesia karangan Syamsuddin A.R., dkk. (2004). Kompetensi Berbahasa dan Sastra Indonesia. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri yang diperuntukan bagi siswa kelas XII SMA diperoleh hasil bahwa buku tersebut tidak sesuai dengan jenjang keterbacaan kelas XII. Hal ini diperoleh setelah penulis menghitung data dengan menggunakan formula keterbacaan grafik fry.
            Menurut data yang penulis peroleh dari formula keterbacaan grafik fry, buku tersebut memiliki hasil rata-rata suku kata sebanyak 143,6 suku kata, sedangkan untuk rata-rata kalimat sebanyak 2,47 kalimat, sehingga pada grafik fry jenjang keterbacaan buku tersebut terletak pada tingkat kelas VIII dan XI, yakni tingkat SMP.
B.     Pembahasan Hasil Penelitian
1.        Wacana Pertama
Puting Beliung Bertiup, Empat Kampung Hancur
            Puluhan rumah di empat kampung di Desa Pakuwon, Kecamatan Sukaresmi mengalami rusak berat. Tiga di antaranya bahkan nyaris roboh akibat disapu angin puting beliung disertai hujan es sebesar kerikil, Minggu (7/4) sore. Keempat kampung yang menjadi korban angin dan hujan lebat tersebut adalah Kampung Cimalangdewa, Kebon Pedes, Babakan Girang, dan Leuweungdatar.
            Kerusakan yang paling berat terjadi di Kampung Cimalangdewa, yakni tiga bangunan milik warga nyaris rata dengan tanah. Dua dari ketiga bangunan yang nyaris roboh tersebut adalah bangunan pabrik penggilingan beras milik Dodo (40) yang dikelola H. Anang (41) dan rumah milik Sumarni (40).
            Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut.Namun, tiga warga mengalami luka cukup serius akibat tertimpa reruntuhan tiang. Korban yang mengalami luka tersebut adalah Tarmiji (60) dan Wowoh (20) yang merupakan pekerja pabrik beras dan Sumarni (40) yang tertimpa atap rumah ketika sedang memasak di dapur.
            Menurut informasi, angin puting beliung yang disertai hujan lebat tersebut terjadi sekitar pukul 16.00 WIB. Ketika hujan deras disertai kilatan halilintar tengah turun, tiba-tiba dari arah selatan terdengar suara bergemuruh seperti bunyi pesawat. Mendengar suara tersebut, ratusan warga lari berhamburan ke luar rumah. Warga terkejut mendengar bunyi gemuruh berasal dari suara angin puting beliung yang bertiup sangat kencang.
            Mereka melihat angin tersebut bergerak ke arah Bukit Aquila. Akibat kencangnya tiupan angin, atap rumah puluhan warga dan sejumlah pohon kelapa tumbang.
            Menurut Asep, salah seorang warga yang menyaksikan peristiwa tersebut, dirinya masih merasa ketakutan jika mengingat kencangnya tiupan angin disertai hujan deras yang membuat puluhan rumah di kampungnya itu rusak.
            “ Waktu itu saya sedang duduk-duduk di teras rumah, tiba-tiba datang suara gemuruh. Karena penasaran, saya keluar sambil membawa payung ingin mengetahui asal suara gemuruh itu. Saya terkejut ketika melihat beberapa benda beterbangan dan sudah mendekat ke arah rumah saya. Saya langsung berteriak memanggil anak istri untuk keluar dari rumah,” ujar Asep yang atap rumahnya juga hancur berantakan.
            Menurut Kades Pakuwon, H.M.Afifudin, akibat bencana angin puting beliung dan hujan tersebut, kerugian yang dialami oleh warganya mencapai ratusan juta rupiah. Berdasarkan catatan, angin puting beliung menyebabkan sebuah bangunan pabrik penggilingan roboh, genting puluhan rumah milik warga hancur, dan beberapa hektare kebun bunga yang siap panen juga rusak. Belum lagi belasan hektare sawah siap panen dan puluhan pohon kelapa serta pohon pisang milik warga juga hancur tersapu angin.
            “ Sampai saat ini kami masih melakukan pendataan jumlah kerugian yang diderita warga. Namun, tidak ada korban jiwa. Hanya tiga orang yang menderita luka-luka serius. Setelah pendataan kerugian selesai dibuat, kami akan secepatnya membuat laporan ke kecamatan untuk selanjutnya menjadi bahan laporan ke pemkab sebagai bahan pengajuan permintaan bantuan,”kata Afifudin.
Hasil Analisis
Jumlah Kata                : 11 X 30 = 330
Jumlah Kalimat           :   = 2 + 0,63
                                                   = 2, 63
Jumlah Suku Kata       : 215 X 0,6 = 129 suku kata.

2.    Wacana Kedua
Atlet Pelatnas Kurang Disiplin
             Jakarta, Kompas – Beberapa atlet pemusatan latihan nasional (pelatnas) SEA Games XXII yang tinggal di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta masih kurang disiplin. Banyak di antara mereka yang tidak mengindahkan waktu, terutama waktu untuk beristirahat dan bermain. Akibatnya, pada saat latihan keesokan harinya, mereka tampil tidak maksimal.
            “ Seringnya atlet keluyuran seusai latihan sangat berpengaruh pada optimalisasi latihan mereka pada pagi berikutnya. Apalagi, manajer dan pelatih mereka juga tidak bisa mengawasi kebiasaan buruk mereka itu,” ujar Komandan Pelatnas SEA Games XXII Djoko Pranomo seusai meninjau tempat tinggal atlet pelatnas di Hotel Atlet Century Park, Selasa (3/6). Di hotel tersebut tinggal atlet wushu, tinju, sepak bola, atletik, bola basket putri, dan senam.
            Berdasarkan laporan yang diterima Djoko, banyak atlet yang masih berada di luar hotel ketika waktu tidur mereka tiba, yaitu pukul 21.00 .  Ada juga beberapa kamar atlet yang memiliki fasilitas hiburan seperti televisi sehingga mereka menonton televisi hingga larut malam.
            “Makanya, jika pelatnas sepenuhnya dipegang oleh KONI mulai awal Agustus nanti, saya akan mengefektifkan lagi waktu tidur atlet pada pukul 21.00 dan tidak mengizinkan atlet membawa televisi ke kamar masing-masing. Hal ersebut semata-mata untuk meningkatkan disiplin mereka dalam usaha meraih prestasi terbaik,” papar Djoko.
            Selain masalah disiplin atlet, Djoko juga melihat masih banyak kekurangan yang perlu dibenahi berkaitan dengan fasilitas dan sarana hotel. Djoko mencontohkan, bahkan di antara atlet-atlet yang masih menggunakan setrika di kamar mereka masing-masing. “ Padahal, itu berbahaya. Karena itu, KONI nanti akan menyiapkan ruang setrika khusus untuk para atlet yang ingin menggosok pakaian mereka,” kata Djoko.
            Sementara itu, sprinter putri nasional, Irene T. Joseph, mengatakan kekurangan utama di hotel adalah menu makanan yang kurang bervariasi dan monoton. Itu yang menyebabkan atlet senang sekali jajan di luar untuk mencari variasi makanan.
            Tentang cucian, seluruh atlet dari PB PASI tidak direpotkan dengan urusan cuci pakaian karena ada yang mengurus. “ Tinggal ambil, tidak usah mencuci dan menyetrika,” cetus Irene yang sudah tinggal di hotel itu sejak tahun 2001.
            Mengenai jam tidur, umumnya atlet PASI tahu diri untuk tidak keluyuran selewat jam malam. “ Sudah gede, sadar diri saja kalau sudah jam tidur. Pokoknya, pukul 21.00 masuk kamar. Ada televisi, tetapi biasanya sudah terlalu mengantuk, jadi tidak nonton,” ujar Irene yang menghuni kamar di lantai tiga bersama Sundari, atlet lompat tinggi galah. Di situ, PASI menginapkan enam atlet putri, empat atlet putra, dan emppat pelatih.
Hasil Analisis
Jumlah Kata                : 10 X 29 = 290
Jumlah Kalimat           :   = 2 + 0,2
                                                   = 2,2
Jumlah Suku Kata       : 230 X 0,6 = 138 suku kata.
3.  Wacana Ketiga
Asal Usul Binatang Berkaki Empat di Daratan
            Dari mana datangnya binatang berkaki empat atau tetrapoda di daratan? Pertanyaan ini sejak lama mengusik para ahli paleontologi atau paleobiologi. Sejak ratusan tahun lalau, para ahli sudah melontarkan asumsi, binatang darat berkaki empat atau tetrapoda, pasti berasal dari lautan. Tema ini menjadi bagian tersendiri dalam teori evolusi kehidupan. Akan tetapi, yang masih menjadi pertanyaan, faktor-faktor apa saja yang menyebabkannya? Mengapa binatang laut meninggalkan habitatnya yang nyaman dan pindah ke daratan yang kondisinya lebih ganas? Apa buktinya, binatang berkaki empat memang berasal dari lautan?
            Kunci jawaban pertanyaan ini sebetulnya sudah ditemukan tahun 1895 lalu oleh peneliti geologi Swedia A.G. Nathorst yang mencari peneliti sebelumnya, yang hilang dalam ekspedisi balon udara di Greenland. Nathorst menemukan fosil sejenis ikan yang diperkirakan berumur 360 juta tahun, di kawasan gunung yang diberi nama Celsius Bjerg di dekat kutub. Tiga puluh tahun setelah penemuan pertama, para peneliti dari Denmark dan Swedia melakukan ekspedisi gabungan untuk mencari lebih banyak fosil dan membuat peta lapisan batuan di Celsius Bjerg.
            Pegunungan Celsius Bjerg terbentuk antara 400 sampai 360 juta tahun lalu, pada zaman geologi Devon yang dijuluki zaman ikan karena pada zaman itu ikan merupakan penghuni dominan bumi. Binatang darat bertulang belakang pertama, diketahui berumur 300 juta tahun. Artinya, terdapat celah sejarah evolusi sekitar 60 juta tahun, antara ikan dan binatang darat. Pada tahun 1931, seorang asli paleontologi muda berusia 23 tahun, Gunnar Save-Sodderberg memimpin ekspedisi tahunan ke Celsius Bjerg dan menemukan fosil kepala binatang yang diyakininya bukan ikan. Ia menamakan fosil itu Ichtyo-stega, yang berarti ikan gepeng karena fosil tengkoraknya gepeng seperti kepala ikan.
            Ekspedisi untuk menemukan rantai sejarah evolusi yang hilang terhenti sejenak pada tahun 1937 sampai 1945 akibat perang dunia kedua. Tragisnya, Save- Sodderberg meninggal dunia pada tahun 1948 dalam usia 38 tahun akibat sakit. Ironis, karena beberapa bulan sebelumnya, para ahli paleontologi berhasil menemukan fosil tulang belulang Ichtyo-stega. Tugas untuk melanjutkan penelitian diserahkan kepada Erik Jarvik, asisten Save-Sodderberg dan ahli paleontologi di Museum Sejarah Nasional Swedia.
            Laporan pertama Jarvik menyebutkan, Ichtyo-stega adalah amfibi yang masih menunjukkan asal usulnya sebagai ikan. Inilah tetrapoda pertama yang mengembangkan tungkai untuk bergerak di daratan. Jarvik yang lumpuh akibat stroke pada usia 88 tahun, meninggalkan laporan ilmiah terlengkap mengenai Ichtyo-stega setebal 250 halaman. Sampai tahun 80-1n, penelitian asal usul tetrapoda seolah terlupakan. Jarvik ternyata tidak banyak memublikasikan hasil penelitiannya. Harta karun itu akhirnya ditemukan oleh pakar paleobiologi Jenny Clack dari Museum Zoologi Universitas Cambridge.

Hasil Analisis
Jumlah Kata                : 11 X 33 = 374
Jumlah Kalimat           :   = 2 + 0,60
                                                   = 2,6
Jumlah Suku Kata       : 273 X 0,6 = 164 suku kata.

4.    Hasil Penjumlahan dari Ketiga Wacana

Wacana sampel 100 kata


Jumlah suku kata

Jumlah kalimat
Bagian satu
129
2,63
Bagian dua
138
2,2
Bagian tiga
164
2,6
Jumlah
431
7,43
Rata-rata
143,6
2,47

Dari hasil rata-rata tersebut diplotkan ke dalam grafik fray ternyata titik temu dari persilangan ketiga data tersebut jatuh pada wilayah VIII dan IX. Artinya tingkat keterbacaan buku paket SMA kelas Xll tepat untuk peringkat VIII dan IX SMP.

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A.       Simpulan
Setelah kami menganalisis buku paket bahasa Indonesia kelas XII SMA kami dapat menyimpulkan bahwa buku paket yang kami analisis ini tidak sesuia dengan grafik fray, buku tersebut kurang relevan jika disesuaikan dengan grafik fray. Dari ketiga wacana jumlah kata dan suku kata telah kami jumlahkan dengan hasil jumlah kalimat 2,47 dan jumlah suku kata 143,6, jika dicocokan kedalam grafik fray maka hasil tersebut berada pada peringkat VIII dan IX SMP.
B.        Saran
Saran yang dapat kami sampaikan berdasarkan analisis buku paket bahasa Indonesia SMA kelas XII, seharusnya buku paket bahasa Indonesia SMA kelas XII disesuaikan dengan jenjang keterbacaan untuk tingkat kelas XII SMA. Hal ini perlu mendapat perhatian dari berbagai pihak, terutama pemerintah, sekolah, dan guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Ketidaksesuaian jenjang keterbacaan buku paket Bahasa Indonesia seperti ini menurut hemat penulis mengharuskan para guru supaya lebih selektif lagi dalam menentukan buku sumber sebagai bahan ajar bagi siswa.






DAFTAR PUSTAKA

A.R, Syamsuddin, dkk. (2004). Kompetensi Berbahasa dan Sastra Indonesia. Solo: PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. 
Depdiknas. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Balai Pustaka.
Harjasujana, A.S dan Yeti Mulyati. (1996). Membaca 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.





Leave a Reply