Background

UPACARA SEDEKAH BUMI DAN NUNDANKEN OLEH CHASIM CASICO



UPACARA SEDEKAH BUMI DAN NUNDANKEN
Sebuah adat kebiasaan kampung cipancur
Oleh : Casim

Adat dan budaya merupakan suatu nilai yang memiliki kedudukan yang sangat kuat terhadap  ciri khas suatu daerah dan merupakan sebuah peninggalan dari para leluhur sesuai dengan peradaban dan perkembangan zaman yang tetap harus di jaga kebudayaannya demi sebuah kekuatan dan nilai tradisi yang tidak boleh kita lupakan. Kampung cipancur misalnya kampung yang masih tetap terjaga kelestarian lingkungannya, adat istiadat dan nilai tradisinya. Setiap kampung tentunya memiliki suatu tradisi baik secara lisan maupun tulisan, tradisi suatu kampung ditentukan karena adanya pengaruh dan warisan secara turun temurun diturunkan berdasarkan perkembangan zaman dan bergantinya episode waktu. Biasanya kampung yang seperti inilah yang akan tetap menjaga sebuah tradisinya sendiri dengan menanamkan segala nilai yang sudah ada sebelumnya.
Meskipun perkembangan zaman ini semakin berkembang dengan pesatnya tapi kampung cipancur masih bisa menjaga dan menerapkan sebuah tradisi yaitu upacara sedekah bumi dan nundanken. Sedekah bumi adalah  suraan dalam artian menyelamatkan masyarakat agar terhindar dari mara bahaya dan upacara ini hanya dilakukan satu tahun sekali yakni pada bulan sura. Para dongkol mengartikan sebuah pepatah “leluhur nyanghulu kalangit nunjang ka bumi” yang mempunyai arti segala bentuk yang ada di bumi baik berupa buah-buahan, sayur-sayuran, padi dan sebagainya berasal dari bumi dan untuk bumi, walaupun terbawa angin tetap akan jatuh ke bumi.
Sedekah bumi ini sangat penting dan wajib dilakukan oleh kampung kami sebuah kepercayaan yang memang tidak mungkin lagi kami hilangkan atau tiadakan. Sedekah bumi yang dilakukan hanya satu tahun sekali ini, biasa kami ramaikan dengan beberapa kegiatan yaitu para ibu-ibu diwajibkan membuat kupat lepet tantang angin, membuat tumpeng dengan lauk pauknya, bubur bodas-bubur berem, buah-buahan dan bekakak ayam jantan atau danten. Sedangkan para bapaknya menyiapkan tempat untuk proses upacaranya. Yang mengikuti upacara ini tidak dikhususkan hanya untuk kalangan orang tua, tetapi berbagai kalangan seperti pemuda, anak-anak dan dewasapun bisa mengikutinya. Upacara ini biasanya di pimpin oleh sesepuh atau orang yang dianggap tua dan keramat. Seperti halnya upacara ini hanya dilakukan setahun sekali dengan tujuan untuk menjaga sebuah lingkungan yang terhindar dari segala mara bahaya dan godaan lainnya.
Selain dari sedekah bumi sesuai dengan yang sudah disebutkan diatas kampung kami mempunyai satu tradisi yang unik dan tradisi ini berupa upacara “Nundanken” upacara yang dilakukan jika perlu, harus dan mendesak. Nundanken adalah ibaratnya segala penyakit baik menyerang kepada masyarakat secara kelompok atau menyeluruh dan tidak bisa disembuhkan oleh para medis atau bahkan penyakit ini bisa menyerang kepada hewan, tumbuh-tumbuhan seperti palawija, huma, tanaman padi dan sebagainya. Satu alternatif adalah melakukan upacara nundanken dengan maksud untuk membuang segala penyakit baik yang menyerang manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan akan dibuang atau di pindahkan ke daerah lain “tidak terlihat”.
Para dongkol mengartikan sebuah pepatah “Micen jejendel kakebel urang” yang mempunyai arti segala penyakit yang menyerang tubuh manusia, hewan dan tumbuhan maka hilanglah segala penyakit yang melekat sampai terbuang ke tempat yang pantas untuk kau huni. Upacara ini tidak bisa dilakukan siang hari melainkan dilakukan hanya untuk malam hari saja. Masyarakat dikumpulkan dalam sebuah tempat guna untuk keberlangsungan upacara dimulai. Biasanya masyarakat itu sendiri diwajibkan membawa berbagai pakaian atau kain yang sudah tidak layak lagi digunakan, dan membawa obor guna penerangan jalan. Bukan hanya itu saja yang harus disiapkan berbagai perlengkapan lainnya juga harus disiapkan seperti sesajen berupa kemenyan, daun sereh, apu, jambe, bawang merah, bawang putih, cabe merah, dawegan hejo dan saranggey padi.
Ritual atau upacara ini tepatnya dilakukan minimal setelah sholat isya sekitar pukul 08.00, berjalan menyusuri jalan yang sudah diberi petunjuk oleh para dongkol dan sesepuh dengan jarak tempuh biasanya 4 km kita berjalan sampai ke perbatasan cijolong. Batas desa boja dengan pangadegan. Dalam perjalanan tidak boleh ada yang melamun dalam artian pikirannya kosong melainkan harus mengeluarkan sebuah kalimat  hayu urang micen jejendel kakebel urang.  
Setelah sampai pada perbatasan seluruh warga disuruh berkumpul membentuk sebuah lingkaran dan upacara segera dimulai dengan dipandu oleh sesepuh dan para dongkol, perlengkapan upacara seperti sereh, apu, dawegan dan sebagainya harus tepat diletakan di pinggir tumpukan baju bekas yang siap dibakar. Setelah pemimpin upacara ini selesai membaca doa, tumpukan kain siap dibakar dan sesajen dikubur. Kegiatan upacara ini bertujuan supaya segala penyakit yang menyerang tubuh kita, hewan dan tumbuhan bisa pergi dan hilang menjadi lebu, dan terkubur bersama bumi.
Kedua upacara ini sampai saat ini masih dilaksanakan atau dilakukan oleh kampung kami dengan sebab masih adanya kekuatan suatau nilai budaya dan tradisi peninggalan atau warisan dari leluhur yang harus dijaga sampai akhir zaman. Dengan begitu layaknya kita sebagai wayang kehidupan yang tidak tahu mengapa itu ada dan apa alasannya tidak harus kita permasalahkan yang penting itu adalah tradisi dan nilai budaya yang tidak boleh kita asingkan dan hilangkan. Kekuatan dari sebuah upacara mempunyai arti tersendiri. Dan kita tinggal mencari bukti-bukti yang ada tanpa berontak mengadu keadaan.
“Sebuah nilai dan tradisi yang kuat akan membawa kita kedalam sampan kehidupan yang mengalir”.

Leave a Reply