MENGKAJI PUISI D. ZAWAWI IMRON OLEH CHASIM CASICO
MENGKAJI PUISI D. ZAWAWI IMRON OLEH CHASIM CASICO
D. Zawawi Imron
IBU
Kalau aku
merantau lalu datang musim kemarau
Sumur-sumur
kering, daunpun gugur bersama ranting
Hanya mata air
airmatamu, ibu, yang tetap lancer mengalir
Bila aku
merantau
Sedap kopyor
susumu dan ronta kenakalanmu
Di hati ada
mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
Lantaran
hutangku padamu tak kuasa kubayar
Ibu adalah gua
pertapaanku
Dan ibulah yang
meletakkan aku di sini
Saat bunga
kembang menyemerbak bau saying
Ibu menunjuk ke
langit, kemudian ke bumi
Aku mengangguk
meskipun kurang mengerti
Bila kasihmu
ibarat samudera
Sempit lautan
teduh
Tempatku mandi,
mencuci lumut pada diri
Tempatku
berlayar, menebar pukat dan melebar sauh
Lokan-lokan,
mutiara dan kembang laut semua bagiku
Kalau aku ikut
ujian lalu ditanya tentang pahlawan
Namamu, ibu,
yang kan kusebut paling dahulu
Lantaran aku
tahu
Engkau ibu dan
aku anakmu
Bila aku
berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu
tunjukkan telah kukenal
Ibulah itu,
bidadari yang berselendang bianglala
Sesekali datang
padaku
Menyuruhku
menulis langit biru
Dengan sajakku.
A.
Memparafrasekan
puisi D. Dzawawi Imron
Dalam melakukan kegiatan
mengapresiasi sebuah karya sastra puisi, bisa dilakukan dengan memulai beberapa
pendekatan yang menurut kita pas untuk di anjurkan. Menurut aminudin dalam
bukunya pendekatan yang menawarkan keleluasaan sesuai tujuan suatu penelitian
adalah melalui pendekatan analitis, karena pendekatan ini tidak harus mengkaji
keseluruhan aspek yang terkandung dalam suatu cipta sastra (Aminudin, 2004:45).
Dalam tugas pembelajaran apresiasi
sastra khususnya sajak atau puisi, sehingga dalam diri kita sendiri
dituntut untuk mempunyai modal sikap dan
kemampuan mencintai, mengakrabi, dan menggauli sastra terlebih kita mengenalnya
lebih jauh lagi mengenali sastra.
Menurut saya menganilis atau
mengapresiasi sebuah puisi adalah suatu awal atau proses kita mengenal tentang
isi didalam sebuah puisi tersebut, baik dilihat secara struktur fisik dan
batin. Mengapresiasi puisi sama halnya menggauli kekasih kita, seolah-olah
bercumbu dalam pucuk cintanya. Bukan hanya sekedar itu saja banyak manfaat yang
akan kita dapatkan, kalau kita memperhatikan puisi yang kita analisis dilihat
dari tiap baitnya biasanya ada kata atau diksi yang menurut kita asing didengar
dalam kehidupan kita sendiri, yang akhirnya membutuhkan insting yang kuat,
kepekaan terhadap diksi yang ada pada sebuah puisi, harus ada imajinasi yang
tingi seolah-olah kita yang ada dalam puisi tersebut dengan menjiwai isi puisi
tersebut.
Menganalisis Puisi D. Dzawawi Imron
yang diciptakan pada tahun 1966 beliau kelahiran sumenep, Madura. Dalam
puisinya yang berjudul “IBU” cukup menjadi suatu tantangan menurut saya pribadi
karena diksinya yang lumayan sulit dicerna, serta imaji-imajinya yang cukup
kuat, sehingga membuat saya mabuk kepayang. Ibu menurut saya ibu adalah
segala-galanya orang yang telah berjuang tanpa lelah bagaikan pahlawan sejak
kita dikandung di dalam rahim sampai kita terlahir ke mayapada ibu tidak pernah
mengenal kata lelah dan letih. Ibu adalah isi hati dan jiwaku, tanpanya hidup
ini hampa, tidak ada kasih sayang ibu sepertinya tidak ada semangat hidup. Dalam puisi Ibu seorang anak yang menyatakan
cinta atau sayang kepada sang ibu. Dalam puisi adanya kesadaran yang timbul
dari seorang anak atau sang pengarang puisi ini dalam mengimajinasikan puisi
ini, yaitu adanya kesadaran tentang musim kemari sehingga sumur-sumur kering
kerontang, kesadaran merantau yakni seoarang anak yang merantau jauh dari ibu
sehingga merindukan seorang ibu, adanya kesadaran kekayan laut yaitu laut yang
terhampar luas seluas kasih ibu, adapun kesadaran religious yaitu seorang anak yang
sadar dan bagaimana caranya memberikan hal yang terbaik untuk seorang ibu,
timbal balik kepada seorang ibu.
Banyaknya kesadaran yang bisa
diimajinasikan atau bisa diibaratkan seorang penyair yang waktu itu menulis
puisi ini, melihat bagaimana lingkungan sekitar, tentang kekayaan laut, kemarau
yang panjang, masyarakat yang religius, sehingga menghadirkan imajinasi yang
tinggi. Banyaknya kekayaan alam yang harus kita syukuri. Dalam puisi ‘Ibu” ada
kalimat aku lirik, jelas memposisikan diri sebagai anak dan memposisikan
“engkau” sebagai ibu. Aku lirik juga memposisikan diri sebagai seorang anak
yang merasa bahwa dirinya seperti hutangku padamu tak kuasa kubayar. Sementara
itu, kalau akau merantau lalu datang musim kemarau, sumur-sumur kering, daunpun
gugur bersama reranting, aku lirik memposisikan ibu sebagai satu-satunya
mataair atau airmata yang mengalir pada lengkung matanya yang tetap lancar
mengalir. Ibu memposisikan sebagai gua pertapaanku yaitu tempat dia mengadu
peluh dan sedih, berbagi cerita, suka dan duka dan orang yang meletakan aku
disini yaitu di tempat iniaku bisa berdiri. Bila kasih ibu ibarat samudra, maka
laut teduh akan terasa sempit, dan itu mempunyai kandungan lautan, lakon,
mutiara, kembang laut yang mempunyai arti bagi aku lirik sendiri dan ibu adalah
bidadari yang berselendang bianglala yang mempunyai arti ibu itu seperti
bidadari atau wanita cantik dan baik yang mempunya kasih sayang seindah
pelangi, kasihnya tak terukir oleh indahnya pelangi. Pelangi kasih ibu penuh
rona kehidupan.
B.
Analisis
struktur fisik atau lahir
Analisi struktur
fisik sajak “IBU” karya D. Dzawawi Imron
ada beberapa hal yang harus diperhatikan dilihat dari, rima, diksi, majas,
imaji, dan tifografi. Akan saya bahas secara jelas dan rinci dari bait pertama
sampai bait terakhir.
Kalau aku merantau
lalu datang musim kemarau
Sumur-sumur kering,
daunpun gugur bersama ranting
Hanya mata air airmatamu, ibu,
yang tetap lancar mengalir
1.
Rima adalah persamaan bunyi yang
terdapat pada larik-larik sajak. Pada puisi ibu terlihat adanya dominasi
tentang rima akhir pada bait pertama terlihat jelas rimanya yang di blok dan
garis bawah. Dan walaupun ada rima ditengah. Untuk mengetahui penggunakan rima
pada bait pertama puisi ibu bisa dilhat diatas. Baris pertama mutlak hanya
menggunakan vocal U sebagai tengah dan rima akhir. Pada baris kedua terjadi
bunyi likuida /r/ dan bunyi sengau /ng/ sebagai rima tengah dan rima akhir yang
disebut bunyi asonasi.
Bila
aku merantau
Sedap
kopyor susumu dan ronta
kenakalanmu
Di
hati ada mayang siwalan
memutikkan sari-sari kerinduan
Lantaran hutangku padamu
tak kuasa kubayar
Bait
kedua ini adanya persamaan dominasi persamaan bunyi vocal /u/ sebagai rima
tengah dan rima akhir yang disebut bunyi asonasi, dan persamaan bunyi konsonan
/n/ pada baris ke tiga dan empat sehingga disebut rima akhir bersifat
aliterasi.
Ibu adalah gua pertapaanku
Dan ibulah yang meletakkan aku di sini
Saat bunga kembang menyemerbak bau sayang
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
Aku mengangguk meskipun kurang
mengerti
Bait
ke tiga terdiri dari lima baris yang menghadirkan kombinasi bunyi-bunyi vocal
asonasi sebagai rima tengah dan rima akhir yang didominasi oleh vocal /u/
bentuk rima akhir berbentuk aliterasi dengan konsonan /k/ dan bunyi sangau
/ng/. suasana yang ada timbul bunyi efoni. Gambaran perasaan yang teramat
indah.
Bila kasihmu ibarat samudera
Sempit lautan
teduh
Tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
Tempatku berlayar, menebar pukat dan melebar sauh
Lokan-lokan, mutiara dan kembang laut
semua bagiku
Kalau aku ikut
ujian lalu ditanya tentang
pahlawan
Namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu
Lantaran aku tahu
Engkau ibu dan aku
anakmu
Pada bait ke
empat terdiri dari 9 baris, setiap akhir baris tampak rima asonansi dengan
bunyi vocal /u/a/i/ lalu persamaan bunyi konsonan /n/, serta bunyi asfiran /h/
.
Bila aku
berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
Pada bait kelima
ini dominan akhir barisnya didominasi oleh konsonan /l/n/ , /n/ sebagai rima
tengah dan /l/ sebagai rima akhir. Mengungkapkan kasih dan rasa syukur kepada
yang kuasa.
Ibulah itu, bidadari yang berselendang
bianglala
Sesekali datang
padaku
Menyuruhku menulis langit biru
Dengan sajakku.
Pada
bait terakhir atau bait keenam ini hanya ada bunyi vocal /u/ yang sangat
mendominasi pada bait akhir ini. Pada bait ini mengisyaratkan kepuasan,
kebanggaan, sanjungan kebahagiaan.
2.
Diksi yaitu pilihan kata yang ada pada
sebuat kata, symbol atau baitnya, bukan makna yang sebenarnya bisa dibilang
pengimajiaan pada sebuat kata atau bait dalam sebuah puisi. Contoh diksi pada
puisi ibu yaitu gua pertapaanku sebagai symbol makna kehidupan ketika kita
berada didalam kandungan atau rahim ibu.
3.
Majas yaitu ungkapan gaya dan bahasa
yang menunjukan kepiawaian penyair terhadap sebuah karya yang ditulisnya. Pada
majas “Ibu” menggunakan majas metafor. Yang dimaksud majas metafor adalah makna
lain bukan makna yang sebenarnya misalnya bidadari yang berselendang bidadari
yang mempunyai metafor yakni seorang anak yang mengibaraktan ibunya seperti
wanita cantik yang penuh warna pelangi dalam hidupnya.
Gua
pertapaanku adalah metafor yang menyiratkan makna tempat aku dalam kandungan
dan akan terlahir ke dunia nyata atau mayapada.
4.
Imaji yang ada pada puisi ini adalah
imaji visual yaitu pembayangan kembali bayangan-bayangan masa silam berdasarkan
pengalaman sensasional-perseptual terhadap gambaran yang Nampak seperti yang
tergambarkan, sumur-sumur, daunan, rerantingan, airmata, ibu, mayang siwulan,
bunga, langit, bumi dan sebagainya yang terkandung dalam sebuah puisi.
5.
Tipografi pada puisi “Ibu” adalah untuk
menanpilkan aspek artistic visual juga untuk memberikan nuansa makna dan
suasana tertentu. Dengan memperhatikan tampilan artistika penataan baris dan
bait demi bait pada puisi ini. Dalam puisi ini menggambarkan perjalanan hidup
penuh dengan ragam permasalahan yang kadang bisa dituntaskan dengan singkat.
Kadang ada permasalahan yang tidak bisa terselesaikan dengan tuntas dan mencerminkan
suasana kehidupan yang variatif.