Background

Menganalisis Cerpen Ratna Ayu Budhiarti



Membedah Cerpen Karya Ratna Ayu Budhiarti yang berjudul “Handuk Belang Ibu”
Oleh : Chasim casico

Pada Era Globalisasi dan perkembangan zaman serta teknologi yang semakin merajai serta berkembang dengan pesat. Karya sastra tetap berekspresi dan narsis dalam dunia yang semakin berkembang ini, karena karya sastra menjadi suatu wadah seoarang penulis untuk menuangkan segala imajinasinya. Hal tersebut dituntut untuk menjadi seorang penulis yang baik harus menuangkan segala imajinasi yang tertuang pada dirinya baik pengalaman yang sudah dijalaninya maupun hanya sekedar imajinasi atau khayalan semata saja. Dengan menulis cerpen kita akan lebih mengakrabi dunia khayal atau sesuai pengalaman yang sudah kita lalui sebelumnya.
Seorang pencinta cerpen atau hobby membaca cerpen jika ingin mengetahui lebih jauh isi cerpen tersebut dan mengetahui segala isi yang disajikan oleh seorang penulis untuk pembaca hendaknya seorang pembaca harus membedah cerpen tersebut dengan tujuan ingin mengetahui isi yang ada pada sebuah cerpen tersebut. Hal yang harus diperhatikan dalam membedah sebuah puisi harus betul diperhatikan melalui seorang  pembaca diharuskan mampu menelusuri imajinasi pengarang, baik dari unsur  sosiologis, historisnya, strukturalnya, moral, stilistika ataupun semiotiknya. Kali ini pembaca akan mencoba membedah cerpen “Handuk Belang Ibu” yang dimuat di Lembar Budaya Kabar Priangan Rabu, 05 Desember 2012.
Membaca Cerpen Ratna Ayu Budhiarti “Handuk Belang Ibu” ini akan lebih cocok kalau menggunakan pendekatan historisnya yaitu sejarah atau kenangan dimasa lalu yang mempunyai makna yang sangat erat dan  kenangan masa lalu yang tidak bisa terlupakan oleh seorang penyair karena melihat dari latar belakang seorang penyair itu sendiri. Ratna Ayu Budhiarti merupakan sosok penyair wanita yang usianya masih muda dengan paras kecantikannya yang selalu tampak menarik dipandang mata. Beliau lulusan Sarjana Pertanian Universitas Siliwangi Tasikmalaya yang memiliki hobby menulis khususnya di dunia kesusastraan dan tulisannya telah dimuat diberbagai media masa atau cetak, seperti kumpulan puisinya yang dimuat diharian umum Pikiran Rakyat Minggu, 18 November 2012 salah satu puisinya “Potret Dua Kepala Batu”, dan Bukunya yang berjudul “Surat Menjelang Lepas Lajang”. Serta banyak karnyanya yang dimuat seperti Bali Post, Radar Tasikmalaya, Kabar Priangan, Suara Karya, Majalah Sahabat Pena dan sebagainya.
Dalam penulisannya  Ratna Ayu Budhiarti tidak menggunakan makna leksikal atau diksi  sulit yang terkandung didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dia mencoba merangkai kata dengan senderhana tanpa menggunakan diksi yang sulit untuk dipahami, dengan kesederhanaan tulisannya dia mampu membuat seorang pembaca dengan mudah memahami isi cerpen tersebut, ceritanya cukup simpel dan jelas, tidak bertele-tele dan ceritanya tersusun secara sistematis atau  alur ceritanya terstruktur.  Untuk lebih menyongsong, lebih mendalami isi cerpen tersebut adanya hakikat yang menguatkan dari seorang tokoh “Aku” dan “Ibu” sosoknya dalam cerpen tersebut si “Aku” yang selalu keheranan terhadap Ibunya yang mempunyai kebiasaan yang sama setiap hari, sampai si tokoh “Aku” semakin penasaran, mengapa Ibu setiap mandi harus memakai Handuk Belang.  Itu selalu menjadi pertanyaan si tokoh “Aku” dengan kesederhanaan penulisan, Ratna Ayu Budhiarti mencoba memadukan pengalamannya atau imajinasinya yang dituangkan kedalam sebuah cerpen itu sendiri. Dalam alur ceritanya sudah ada rasa penasaran pada tahap alurnya yaitu permulaan, pertikaian, perumitan, klimak dan akhir. Didalam monolog ini dibuktikan pada tahap pertikaian bahwa :
“Pernah sekali waktu aku menyembunyikan handuk belang ibu di sela-sela tumpukan bajuku di lemari setelah kering dijemur. Sampai ibu nyaris tak jadi mandi karena mencari-cari handuk kesayangannya, hingga akhirnya menyerah sebab adzan Maghrib berkumandang dan ibu paling tidak suka mandi selepas waktu maghrib. Kala itu handuk hijau yang digunakannya sebagai pengganti, sebab aku beralasan lupa menaruh handuk dan beberapa baju lainnya. Maafkan aku. Ibu, terpaksa berbohong, sebab aku ingin meminjam dulu handukmu untuk kuteliti. Sehari saja. Diam-diam kuamati senti demi senti handuk belang biru langit, kuning, orange itu. Tak ada yang istimewa. Kutelisik pinggiran jahitannya: sempurna. Kupejamkan mata dan merasakan serat-serat handuk itu di telapak tanganku, sedikit agak kasar, tidak lembut seperti yang ibu bilang. Kuulangi kedua kalinya, tetap tak ada yang istimewa: bukan handuk berkelas seperti di tangan dan leher yang cukup menutupi dada hingga setengah paha. Kuulangi untuk ketiga kali, sekarang lebih perlahan menelusuri selembar kain itu. Aha! Ini dia perbedaannya  di antara handuk-handuk yang lain: label kecil tersemat di pinggir jahitan lebar handuk, ada tulisan berhuruf capital dan berbunyi DEPARTEMEN SOSIAL R I”.
Pada paragraf tersebut sudah jelas bahwa “Ibu” mempunyai alasan yang kuat mengapa selalu ingin mengenakan handuk belang saat dia mandi, karena handuk tersebut mempunyai kenangan yang tidak bisa dia lupakan sepanjang waktu menjadi history dalam hidupnya. Dan si tokoh “Aku” sudah tidak penasaran lagi terhadap ibunya. Ratna Ayu Budhiarti mencoba menghidupkan suasana isi cerpen dengan menggunakan dialog yang cukup menarik dan membuat pembaca semakin penasaran.
Gaya penulisan yang sederhanya seolah-olah menggambarkan suasana keadaan dimana seorang penulis ingin menyampaikan perasaan tokoh yang ada di isi cerpen tersebut. Dalam alur ceritanya si tokoh “Ibu” yang di tinggal suaminya sudah 3 tahun, tak sampai satu bulan si tokoh aku menikah, adanya kejadian rumahnya dilalap si jago merah dan semua isi rumah lenyap ditelan api, hanya yang tersisa  berupa buku puisi-puisi tulisan tangan dan yang tersisa hanya empat buku. Suaminya meninggal karena terkena penyakit paru-paru. Kisah yang sangat kental dengan fanorama kesedihan yang terpancar. Tokoh bapak meninggal tepat dihari kedua setelah idul fitri.
Kini yang tersisa hanya sebuah kenangan pahit setelah ditinggalkan suaminya si tokoh ibu selalu merasa kehilangan dan sedih, memang kenangan itu tidak akan pernah bisa ulang kembali, tidak ada yang bisa memutar waktu, yang tersisa hanya kenangan pahit dan manis masa lalu. Ratna Ayu Budhiarti sempat membahas tentang handuk yang sudah berumur tiga tahun tak sampai sebelum “Aku” menikah, saat itu rumahnya dilalap oleh si jago merah. Hal tersebut dimaksudkan agar pembaca bisa memahami hubungannya pendekatan history atau sejarah kehidupan seseorang baik itu pengalaman maupun lahir oleh imajinasinya itu sendiri.
Terakhir penulis belum merasa cukup untuk membuat tulisan sesempurna apa yang diharapkan karena kurangnya pengetahuan yang luas serta referensi yang apa adanya. Tetapi dengan tulisan ini semoga bisa bermanfaat khususnya untuk saya pribadi dan umumnya untuk pembaca. Selain itu semoga dijadikan bahan pembelajaran untuk pembaca Karena banyak hal yang berhubungan dengan sejarah kehidupan seseorang atau pengalaman hidupnya dan dijadikan sebagai tulisan yaitu karya sastra. Semoga dengan tulisan ini bisa menambah wawasan yang lebih luas lagi.
“Belajarlah untuk menulis karya sastra, dengan begitu akan menghadirkan karya yang luar biasa”

Tasikmalaya, 07 Desember 2012
Penulis adalah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Siliwangi Tasikmalaya

Leave a Reply