Analisis cerpen bode riswandi
Cerpen
Bode Riswandi
PELACUR YANG DISEKAP
SEHARI MENJELANG PEMILUKADA
Peluru semahal itu cukup menutupi
untuk tidak melacu selama tiga pecan…
Oleh : Chasim casico
Aku disekap dua
lelaki berbadan kekar malam itu. Dua-duanya cepak, yang satu pakai topi. Satu
mobil menunggu beberapa meter dari arahku. Tak jelas siapa mereka. Tiba-tiba
saja kejadiannya. Mulutku dibekap dari belakang, tubuhku dipanggulnya dan
dilempar ke dalam mobil. Seingatku mobil langsung melaju kencang.
Kilatan-kilatan cahaya dari lampu mobil lain yang berpapasan melintas cepat ke
dalam mobil ini. Cahayanya sekilas menggores mataku yang ditutup kain. Aku
terus berontak dngan harapan merka yang berada di jalanan tahu, ada sandera
yang mengharapkan pertolongan di dalam mobil yang melaju kencang ini. Tetapi
semua sia-sia, mereka malah menahan keras tubuhku. Terasa ada hantaman keras
mengenai kepalaku. Entah tangan atau seemacam kayu dan sejenisnya. Hantaman
itulah sepertinya yang membuatku lemas dan pingsan saat itu juga.
Kejadian itu persis
bersamaan dengan batas waktu diturunkannya bendera-bendera partai. Dicopotnya
baliho-baliho muka calon walikota, pamflet-pamflet murahan di jalanan dan
tembok-tembok toko yang sebagiannya dipasang di mushola dan gereja. Bisa
terbayang hasilnya, bagaimana hasil robekan-robkan poster sengaja disisakan
begitu saja, hingga bangunan-bangunan publik disulap menjadi sebidang kliping
menyakitkan.
Hari-hari makin
sesak polusi. Padat oleh macam-macam umpatan. Mereka sibuk saling tutup gambar
satu dengan gambar lainnya. Jalanan mendadak serupa karnaval warna-warni
anak-anak ibtidaiyah. Dibikin bising tarikan gasdari berbagai arah, dibikin
sakit teriakan-teriakan yang sok perubahan.
Pom bensin-pom
bensin yang jaraknya berdekatan selalu kehabisan stok bnsin dan solar tiap
harinya, meski dua hari sebelumnya aksi menolak kenaikan BBM sermapak terjadi
di tanah air. Dan anak-anak muda yang berteriak itu banyak yang kena ciuman
pentungan aparat. Memar seluruh badannya. Tetapi karena ini hari tengah musim
dagang diri, pailit yang sangat lama mendera tak ubahnya kentut sepanjang masa.
Dua minggu ini,
jalanan dibuat macet motor dan truk-truk yang ngangkut orang-orang malang dari
pelosok desa dan perkotaan. Mereka tak sadar dirinya sedang dibebani lambang
dan warna-warni partai publik. Keesokan harinya partai yang berbeda ambil
giliran memacetkan jalan raya. Namun anehnya, mereka yang di truk dan motor,
itu-itu juga orangnya. Pesris yang ikut konvoi kemarin dan tempo hari. Mereka
ini dalam ilmu ekonomi liberal bisa dikatakan para penjual jasa terhebat di
dunia ketiga. Sebab dengan cara sesederhana itulah masa depan Negara bisa
diukur dengan berdasar table statistic finansial.
Kelakuan mereka
bagai pahlawan bagi negerinya yang kalut. Membela partai seperti membela agama.
Kondisi negara dan ayat-ayat suci dijual murah lewat brosur dan mikropon ke
pasar-pasar, perkampungan, terminal dan stasiun. Meski aku tak cukup pandai
untuk ngomong soal agama, juga tak mumpuni ngoceh soal ekonomi seperti halnya
para ekonom yang sering nongol di teve yang membotakkan sebagian kepalanya,
tapi ketika mendengar kedegilan itu semua, mangkel juga dada ini. Kadang ingin
melumpuri mukanya dengan tahi.
Pada minggu-minggu
seperti itulah aku merasa diteror iblis perubahan yang sistematis. Iblis-iblis
itu bergentayangan sampai kemana-mana. Suaranya menggema juga di udara “Perubahan nasib hidup menjadi masyarakat
yang mandani itu, akan segera tiba waktunya. Lapangan pekerjaan segera menunggu
kalian seluas-luasnya!” kira-kira begitu bunyinya. Lantas siapa orangnya
yang tak tergiur lelucon tengil itu? Hanya orang sinting aku pikir.
Lelucon ini setap
hari sudah sering aku dengar dari mulut manis tuan-tuan kelimis yang sedang
rindu menggung. Istilah modernnya, ane
udeh kenyang. Tentulah, harus percaya, kalau aku satu-satunya orang sinting
yang mulai tidak mulai percaya secuilpun kepada mereka. Kepada bisikan gaib
itu. Mbok yang sudah0sudah juga hanya
bualan. Issu-issu kerontang yang ditularkan kepada kepala orang-orang dahaga di
tengah lapang.
Maka kupastikan,
pada siang itu aku berbdea dengan kepala orang-orang yang ikut berkerumun di
lapangan. Aku hanya berdiam diri di kamar kontrkan menghitung banyak rekening
tagihan yang nancap di paku. Serta berusaha kucing-kucingan dari tagihan tukang
kredit dan rentenir. Sebisa mungkin. Betul, sebisa mungkin…
Pengap. Sdikit
cahaya. Cahaya hanya datang dari enam lubang kecil hawa udara pada dinding. Dan
menengok ke dunia luar cukup dari lubang itu, meski tak bisa kupastikan dimana
saat itu kau berada. Selembar daun pintu tertutup rapat. Mereka menguncinya
dari luar. Sesekali kutengok dari liang kunci, orang-orang yang suaranya kadang
terdengar sampai kemari. Meski samar, yang penting lamat-lamat bisa kukenali
beberapa di antara mereka. Apa yang dibicarakannya. Menebak lantaran urusan apa
sampai-sampai menimpa seorang pelacur yang jelas-jelas (mungkin) tak ada
hubungannya dengan mereka.
“Goblok!” bentak
lelaki sambil meukul meja. Hati ngedumel,
tak bisa kulihat dia dengan jelas. Dia duduk memunggungi lubang kunci. Empat
orang yang berada di hadapannya berwajah tegang dan serba salah. Wajah mereka
bisa kukenali satu per satu, walu soal siapa mereka, jelas belum bisa kutahu.
Seseorang berusaha menyela pertanyaan, tetapi si pemilik punggung bidang ini
tambah naik pitam.
“Kerja macam apa kalian
ini. Semuanya nihil. Omong kosong! Omong kosong! Mau ditaruh di mana muka saya?
Coba you hitung, berapa uangku yang dikeluarkan, hanya demi selembar kertas
ini. Tapi suara tujuh kecamatan itu kemana larinya. Goblok!”
Lelaki itu memaki
mereka berjam-jam lamanya. Tak ada lagi yang berani menyulut rokok sebatang
pun. Semua menunduk. Dia mondar-mandir, tetapi masih belum bisa kulihat
wajahnya. Sesuatu terjatuh dari dadanya, semacam idcard tergeletak di ubin. Aku berusaha keras menajamkan pandangan
ke ubin, alhasil sebuah nama cukup jelas terbaca.
“Ya Tuhan, apa iya
dia orangnya?” aku menarik napas panjang. Masih sulit kupercaya sebab wajahnya
belum berhasil kutengok.
Kepalaku bekerja
cepat memutar ingatan yang ada hubungannya dengan pemilik nama itu. Mengingat
nam-nama tempat mungkin saja ada kaitan sejarahnya. Mengingat apa saja yang
pernah saya dengar dari ucapannya, baik yang terang-terangan atau yang sifatnya
rahasia yang sering ia lontarkan ketika mabuk besar. Mengingat nama-nama orang
yang sungguh-sungguh ia benci dalam karir politiknya. Juga mengingat sejumlah
rupiah yang telah ia keluarkan buat memuluskan urusannya. Waduh, jika saja
firasat ini benar, setidaknnya bisa kutahu mengapa orang-orang kekar itu
tiba-tiba saja menyekapku.
“Pokoknya saya tidak
mau tahu, pas waktunya nanti harus dibikin ricuh. Bila perlu… (dia menggunakan
isyarat), ngerti?” semua ngangguk.
Dia pergi kea rah
pintu depan. Syukurlah seseorang keburu menyelanya dan membuat ia membalikan
badan.
“Bagaimana dengan
perempuan itu?” menunjuk kea rah pintu tempat aku di sekap.
“Lepaskan bila
sudah waktunya!” jawabnya.
Yakinlah sekarang,
dia calon walikota yang berkali-kali membawaku keluar dari kota ini. Memasuki
hotel satu ke hotel lainnya. Bila saja dia masih menyimpan rekaman itu diponselnya,
tentu peristiwa rahasia yang melibatkanku dengannya masihlah ada. Dan kalaupun
tak ada, aku pikri itu bagian dari penjaga nama baiknya sebagai calon pemimpin
daerah. Ah, itu tidak aneh bagiku.
Entah sudah
kuhabiskan berapa minggu dalam kamar ini. Segalanya serba tidak aku ketahui
selain desas-desus mereka yang ditugaskan menjagaku. Tidak ada satupun yang
bisa kuperbuat di sini, selain menunggu kapan pintu kamar ini segera dibuka
membiarakan aku menjalani hidup seperti biasanya. Aku bersumpah tidak mungkin
mengatakan apa pun tentang semua peristiwa ini.
Bila sudah tak
terdengar suara para penjaga itu, pasti ini sudah larut malam. Seperti bagiku
aku memutuskan perhitungan waktu setiap harinya. Pada suatu malam aku bermimpi
tentang seorang anak kecil mencari ibunya. Mereka berhadapan tetapi tak saling
mlihat. Perempuan itu melambai dan hendak merangkulnya, dan anak kecil itu
terus berlari sambil memanggil-manggil nama ibunya.
“Dor!!” sontak
bunyi letusan itu menghapus mimpiku. Bunyi letusan senapan itu keras sekali, di
luar pintu kayaknya. Aku berlari kea rah pojokan dinding menutup telinga dan
menunduk. Maut serasa telah mendekat kepadaku. Aku tak bisa meredakan
ketakutan, keringat dingin dan dada mengap semakin menjadi. Ada bunyi seseorang
yang membuka kunci kamar ini dari luar, dan aku pasrah jika harus mati hari
ini. Ada darah mengalir masuk lewat bawah pintu. Darah diakah yang membukakan
pintu untukku?
Perlahan aku
mendekatinya, dan pintu pun terbuka pelan-pelan. Betul saja, dua tubuh lelaki
terkapar di ubin. Lubang peluru itu bersarang di leher dan dadanya. Siapakah
gerangan yang tega melakukan ini? Tidak ada jalan terbaik buatku selain
secepatnya berlari dari sini. Tetapi selang beberapa hari kemudian, polisi
menergapku dan menjebloskanku ke penjara. Ada jejak kakiku di ubin itu. Cukup
dengan alasan itu mreka menjebloskan aku ke penjara, tanpa berpikir keras tanpa
ihwal kemustahilan peluru itu bisa dimiliki seorang pelacur sepertiku.
Di dalam penjara,
baru aku tahu kalau pemilihan wali kota sudah berakhir tiga pecan yang lalu.
Dan televise di ruang jaga tengah mengabarkan hal itu, menayangkan para calon
yang kalah memberikan ucapan selamat kepada pemenangnya, juga mengabarkan salah
satu calon yang depresi karena kekalahannya.
Calon walikota yang
depresi itu jadi penghuni rumah sakit jiwa. Partai yang mngusungnya tidak
berbuat apa-apa, selain berusaha memunculkan persoalan dengan dalih
pengglambungan suara fiktif. Polisi yang tengah menyaksikan berita TV itu,
sejurus mantap ke arahku yang tiba-tiba saja tertawa terpingkal-pingkal setelah
melihat gelagat calon walikota itu di televisi bertingkah bagai koboi
mengacung-ngacung pistol mainan di tangannya. Aku pikir dialah pembnuh itu….
***
A. Tahapan Peristiwa
1)
Aku disekap dua lelaki berbadan kekar malam itu.
Dua-duanya cepak, yang satu pakai topi. Satu mobil menunggu beberapa meter dari
arahku. Tak jelas siapa mereka. Tiba-tiba saja kejadiannya. Mulutku dibekap
dari belakang, tubuhku tubuhku dipanggulnya dan dilempar ke dalam mobil.
Seingatku mobil langsung melaju kencang. Kilatan-kilatan cahaya dari lampu
mobil lain yang berpapasan melintas cepat ke dalam mobil ini. Cahayanya sekilas
menggores mataku yang ditutupi kain. Aku terus berontak dengan harapan mereka
yang berada dijalanan tahu, ada sandera yang mengharapkan pertolongan di dalam
mobil yang melaju kencang ini. Tetapi semua sia-sia, mereka malah menahan keras
tubuhku. Terasa ada hantaman keras mengenai kepalaku. Entah tangan atau semacam
kayau dan sejenisnya. Hantaman itulah sepertinya yang membuatku lemas dan
pingsan saat itu juga.
2)
Kejadian itu persis bersamaan dengan batas waktu
diturunkannya bendera-bendera partai. Dicopotnya baliho-baliho muka calon
walikota, pamflet-pamflet murahan dijalanan dan tembok-tembok toko yang sebagiannya sengaja dipasang di mushola
dan gereja. Bisa terbayang hasilnya, bagaimana bekas-bekas robekan poster
sengaja disisakan begitu saja, sehingga bangunan-bangunan publik disulap jadi
sebidang kliping menyakitkan.
3)
Hari-hari makin sesak polisi. Padat oleh macam-macam
umpatan. Mereka sibuk saling tutup gambar satu dengan gambar lainnya. Jalanan
mendadak serupa karnaval warna-warni anak-anak ibtidaiyah. Dibikin bising
tarika gas dari berbagai arah, dibikin sakit teriakan-teriakan yang sok
perubahan.
4)
Pom bensin-pom bensin yang jaraknya berdekatan selalu
kehabisan stok bensin dan solar tiap harinya,meski dua hari sebelumnya aksi
menolak kenaikan BBM serempak terjadi di tanah air. Dan anak-anak muda yang
berteriak itu banyak yang kena ciuman pentungan aparat. Memar diseluruh
badannya. Tetapi karena ini hari tengah musim dagang diri, pailit yang sangat
lama mendera tak ubahnya kentut sepanjang masa.
5)
Dua minggu ini, jalanan dibuat macet motor dan truk-truk
yang mengankut orang-orang malang dari pelosok desa dan perkotaan. Mereka tak
sadar dirinya sedang dibebani lambang dan warna-warni partai politik. Keesokan
harinya partai yang berbeda ambil giliran memacetkan jalan raya. Namun anehnya,
mereka yang di truk dan motor, itu-itu juga orangnya. Persis yang ikut konvoi
kemarin dan tempo hari. Mereka ini dalam ilmu ekonomi liberal bisa dikatakan
para penjual jasa terhebat di dunia ketiga. Sebab dengan cara sederhana itulah
masa depan negara bis diukur berdasarkan tabel statistik finansial.
6)
Kelakuan mereka bagai pahlawan bagi negerinya yang kalut.
Membela partai seperti membela agama. Kondisi negara dan ayat-ayat suci dijual
murah lewat brosur dan mikropon ke pasar-pasar, perkampungan, terminal, dan
stasiun. Meski aku tak cukup pandai untuk ngomong soal agama, juga tak mumpuni
ngoceh soal ekonomi seperti halnya para ekonom yang sering nongol di teve yang
membotakkan sebagian kepalanya, tapi ketika mendengar kedegilan itu semua,
mangkel juga dada ini. Kadang ingi kulempari mukanya dengan tahi.
7)
Pada minggu-minggu seperti itulah aku merasa diteror
iblis perubahan yang sistematik. Iblis-iblis itu bergentayangan sampai
kemana-mana. Suaranya menggema juga di udara “perubahan nasib hidup menjadi masyarakat yang madani itu, akan segera
tiba waktunya. Lapangan pekerjaan segera menunggu kalian seluas-luasnya!”
kira-kira begitu bunyinya. Lantas siapa orangnya yang tak tergiur lelucon
tengil itu? Hanya orang sinting aku pikir.
8)
Lelucon ini setiap hari sudah sering aku dengar dari
mulut manis tuan-tuan kelimis yang sedang rindu manggung. Istilah moderinnya, ane udeh kenyang. Tentulah harus
percaya, kalau aku satu-satunya orang sinting yang tidak percaya secuilpun
kepada mereka. Kepada bisikan gaib itu. Mbok
yang sudah-sudah juga hanya bualan. Issu-issu kerontang yang ditularkan kepada
kepala orang-orang dahaga di tengah lapang.
9)
Maka kupastikan, pada siang itu aku berbeda denga kepala
orang-orang yang ikut berkerumun di lapangan. Aku hanya berdiam diri di kamar
kontrakkan menghitung banyak rekening tagihan yang nancap di paku. Serta
berusaha kucing-kucingan dari tagihan tukang kredit dan rentenir. Sebisa
mungkin. Betul, sebisa mungkin...
10)
Pengap. Sedikit cahaya. Cahaya hanya datang dari enam
lubang kecil hawa udara pada dinding. Dan menengok ke dunia luar cukup dari
lubang itu, meski tak bisa ku pastikan dimana saat itu aku berada. Selembar
dayn pintu tertutup rapat. Mereka menguncinya dari luar. Sesekali ku tengok
dari liang kunci, orang-orang yang suaranya kadang terdengar sampai kemari.
Meski samar, yang penting lambat-lambat bisa ku kenali beberapa diantara
mereka. Apa yang dibicarakannya. Menebak lantaran urusan apa sampai-sampai
menimpa seorang pelacur yang jelas-jelas (mungkin) tak ada hubungannya dengan
mereka.
11)
“Goblok!” bentak lelaki sambil memukul meja. Hati ngedumel, tak bisa ku lihat dia dengan
jelas. Dia duduk memunggungi lubang kunci. Empat orang yang berada dihadapannya
berwajah tegang dan serba salah. Wajah mereka bisa ku kenali satu persatu,
walau soal siapa mereka, jelas belum bisa ku tahu. Seseorang berusaha menyela
pertanyaan, tetapi si pemilik punggung bidang ini tambah naik pitam.
12)
“Kerja macam apa kalian ini. Semuanya nihil. Omong
kosong! Mau ditaruh dimana muka saya? Coba
you hitung, berapa uangku yang dikeluarkan hanya demi selembar kertas ini.
Tapi suara tujuh kecamatan itu kemana larinya. Goblok!”
13)
Lelaki itu memaki mereka berjam-jam lamanya. Tak ada lagi
yang berani menyulut rokok sebatangpun. Semua menunduk. Dia mondar-mandir,
tetapi masih belum bisa kulihat wajahnya. Sesuatu terjatuh dari dadanya,
semacam idcard tergeletak diubin. Aku
berusaha keras menajamkan pandangan ke ubin, alhasil sebuah nama cukup jelas
terbaca.
14)
“Ya Tuhan, apa iya dia orangnya?” aku menarik napas panjang. Masih sulit ku
percaya sebab wajahnya belum berhasil ku tengok.
15)
Kepalaku bekerja cepat memutar ingatan yang ada hubungannya
dengan pemilik nama itu. Mengingat nama-nama tempat yang mungkin saja yang ada
kaitan sejarahnya. Mengingat apa saja yang pernah saya dengar dari ucapannya,
baik yang terang-terangan atau yang sifatnya rahasia yang sering ia lontarkan
ketika mabuk besar. Mengingat nama-nama orang yang sungguh-sungguh ia benci
dalam karir politiknya. Juga mengingat sejumlah rupiah yang telah ia keluarkan
buat memuluskan urusannya. Waduh, jika saja firasat ini benar, setidaknya bisa
ku tahu mengapa orang-orang kekar itu tiba-tiba saja menyekapku.
16)
“Pokoknya saya tidak mau tahu, pas waktunya nanti harus dibikin ricuh. Bila
perlu... (dia menggunakan isyarat), ngerti!?” semua nangguk.
17)
Dia pergi kearah pintu depan. Syukurlah seseorang keburu
menyelanya dan membuat ia membalikan badan.
18)
“Bagaimana denga perempuan itu?” menunjuk ke arah pintu tempat aku disekap.
19)
“Lepaskan bila sudah waktunya!” jawabnya.
20)
Yakinlah sekarang, dia calon walikota yang berkali-kali
membawaku keluar dari kota ini. Memasuki hotel sati ke hotel lainnya. Bila saja
dia masih menyimpan rekaman itu di ponselnya, tentu peristiwa rahasia yang
melinbatkanku dengannya masihlah ada. Dan kalaupun tak ada, aku pikir itu
bagian dari menjaga nama baiknya sebagai calon peminpin daerah. Ah, itu tidak
aneh bagiku.
21)
Entah sudah kuhabiskan berapa minggu dalam kamar ini.
Segalanya serba tidak aku ketahui selain desas-desus mereka yang ditugaskan
menjagaku. Tidak ada satupu yang bisa kuperbuat di sini, selain menunggu kapan
pintu kamar ini segera dibuka dan membiarkan aku menjalani hidup seperti
biasannya. Aku bersumpah tidak mungkin untuk mengatakan apapun tentang semua
peristiwa ini.
22)
Bila sudah tak terdengar suara para penjaga itu, pasti
ini sudah larut malam. Seperti begitu aku memutuskan perhitungan waktu setiap
harinya. Pada suatu malam aku bermimpi tentang seorang anak kecil mencari
ibunya. Mereka berhadapan tetapi tak saling melihat. Perempuan itu melambai dan
hendak merangkunya, dan anak kecil itu terus berlari sambil memanggil-manggil
nama ibunnya.
23)
“Dor!!” sontak bunyi letusan itu menghapus mimpiku. Bunyi
letusan senapan itu keras sekali, di luar pintu itu kayaknya. Aku berlari ke
arah pojokan dinding menutup telinga dan menunduk. Maut serasa telah mendekat
kepadaku. Aku tak bisa meredakan ketakutan, keringat dingin dan dada megap
semakin menjadi. Adan bunyi seseorang yang membuka kunci kamar ini dari luar,
dan aku pasrah jika harus mati hari ini. Ada darah mengalir masuk lewat bawah
pintu. Darah dia kah yang membukakan pintu untukku?
24)
Perlahan aku mendekatinnya dan pintupun terbuka
pelan-pelan. Betul saja, dua tubuh lelaki terkapar diubin. Lubang peluru itu
bersarang di leher dan dadanya. Siapakan gerangan yang tega melakukan ini?
Tidak ada jalan terbaik buatku selain secepatnya berlari dari sini. Tetapi
selang beberapa hari kemudian, polisi menyergapku dan menjebloskanku ke
penjara. Ada jejak kakiku di ubin itu. Cukup dengan alasan itu mereka
menjebloskan aku ke penjara, tanpa berpikir keras ihwal kemustahilan peluru itu
bisa di miliki seorang pelacur sepertiku.
25)
Di dalam penjara, baru aku tahu kalau pemilihan walikota
sudah berakhir tiga pekan yang lalu. Dan televisi di ruang jaga telah
mengabarkan hal itu, menanyangkan para calon yang kalah memberikan ucapan
selamat kepada pemenangnya, juga mengabarkan salahsatu calon yang depresi
karena kekalahannya.
26)
Calon walikota yang depresi itu jadi penghuni rumah sakit
jiwa. Partai yang mengusungnya tidak bisa berbuat apa-apa, selain berusaha
memunculkan persoalan dengan dalih penggelembungan suara fikif. Polisi yang
tengah menyaksikan berita TV itu, sejurus menatap ke arahku yang tiba-tiba saja
tertawa terpingkal-pingkal setelah melihat gelagat calon walikota gila itu di
televisi bertingkah sebagai koboi mengacung-ngacungkan pistol mainan di
tangannya. Aku pikir dialah pembunuh itu...
B. Tahapan Alur
a)
Permulaan
Aku disekap dua
lelaki berbadan kekar malam itu. Dua-duanya cekap, yang satu pakai topi. Satu mobil menunggu
beberapa meter dari arahku. Tak jelas siapa mereka. Tiba-tiba saja kejadiannya.
Mulutku dibekap dari belakang, tubuhku dipanggulnyadan dilempar ke dalam mobil.
Seingatku mobil langsung melaju kencang. Kilatan-kilatan cahaya dari lampu
mobil lain yang berpapasan melintas cepat ke dalam mobil ini. Cahayanya sekilat
menggores mataku yang ditutup kain. Aku terus berontak dengan harapan mereka
yang berada di jalanan tahu, ada sandera yang mengharapkan pertolongan ke dalam
mobil yang melaju kencang ini. Tetapi semua sia-sia, mereka malah menahan keras
tubuhku. Terasa ada hantaman keras mengenai kepalaku. Entah tangan atau semacam
kayu dan sejenisnya. Hantaman itulah sepertinya yang membuatku lemas dan
pingsan saat itu juga.
b)
Pertikaian
Dua minggu ini,
jalanan dibuat macet motor dan truk-truk yang ngangkut orang-orang malang dari
pelosok desa dan perkotaan. Mereka tak
sadar dirinya sedang dibebani lambang warna-warni lambang politik. Keesokan
harinya partai yang berbeda ambil giliran memacetkan jalan raya. Namun anehnya,
mereka yang di truk dan motor, itu-itu juga orangnya. Persis yang ikut konvoi
kemarin dan tempo hari. Mereka ini dalam
ilmu ekonomi liberal bisa dikatakan para penjual jasa terhebat di dunia ke
tiga. Sebab dengan cara sederhana itulah
masa depan Negara bisa diukur berdasar tabel statistik financial.
c)
Perumitan
“Goblog!”
bentak lelaki sambil memukul meja. Hati ngedumel, tak bisa kulihat dia dengan
jelas.
Dia duduk memunggungi lubang kunci. Empat orang yang berada di hadapannya
berwajah tegang dan serba salah. Wajah mereka bisa kukenali satu per satu,
walau soal siapa mereka, jelas belum bisa kutahu. Seseorang berusaha menyela
pertanyaan, tetapi si pemilik punggung bidang ini tambah naik pitam.
d)
Klimaks
“Dor!!”
sontak bunyi letusan itu menghapus mimpiku. Bunyi letusan senapan itu keras
sekali, di luar pintu itu kayaknya. Aku berlari ke arah pojokan dinding menutup telinga dan
menunduk. Maut serasa telah mendekat kepadaku. Aku tak bisa meredakan
ketakutan, keringat dingin dan dada mengap semakin menjadi. Ada bunyi seseorang
yang membuka kunci kamar ini dari luar, dan aku pasrah jika harus mati hari
ini. Ada darah masuk lewat bawah pintu. Darah diakah yang membukakan pintu
untukku?
Tahapan klimaks
tidak hanya terjadi pada peristiwa ke 23 tetapi klimaks juga menurut saya ada
pada peristiwa ke 24, karena pada peristiwa ke 24 ini ada kalimat “tidak ada jalan terbaik buatku selain
secepatnya berlari dari sini. Tetapi selang beberapa hari kemudian, polisi
menyergapku dan menjebloskanku ke penjara”. Klimaks disini tidak hanya
dilihat dari bagaimana sebuah cerita di akhiri tetapi ada kalimat yang konkret
yang akhirnya bisa menjadi tahapan klimaks yang aktual.
e)
Akhir
atau Peleraian
Pada tahap akhir
cerita terdapat pada peristiwa ke 25 dan 26 dengan kalimat seperti dibawah ini.
Di dalam
penjara, baru aku tahu kalau pemilihan wali kota sudah berakhir tiga pecan yang
lalu. Dan televisi di ruang jaga tengah mengabarkan hal itu, menayangkan para
calon yang kalah memberikan ucapan selamat kepada pemenangnya, juga mengabarkan
salah satu calon yang depresi karena kekalahannya.
Dan pada peristiwa
ke 26 sangat jelas berakhirnya sebuah cerita yang menceritakan seorang calon
walikota yang depresi akhirnya menjadi penghuni rumah sakit. Partai yang mengusungnya tidak bisa berbuat
apa-apa, selain berusaha memunculkan persoalan dengan dalih penggelembungan
suara suara fiktif. Polisi yang tengah menyaksikan berita tv itu, sejurus
menatap ke arahku yang tiba-tiba saja tertawa terpingkal-pingkal setelah
melihat gelagat calon walikota gila itu di televisi bertingkah bagai koboi
mengacung-ngacungkan pistol mainan di tangannya. Aku pikir dialah pembunuh itu…
Itulah tahapan klimaks yang mengakhiri
berakhirnya cerita diatas.
C. Jenis-jenis Konflik
a)
Konflik
manusia dengan manusia
Dalam sebuah
cerpen ini ada banyak konflik khususnya konflik manusia dengan manusia,
bagaimana para tokoh yang memerankan tokohnya masing-masing. Saya tidak akan
mengambil semua peristiwa yang ada pada cerpen tersebut hanya sebagian konflik yang
akan saya cantumkan pada beberapa peristiwa sebagai berikut
Pada peristiwa
pertama sudah terjadi konflik manusia dengan manusia dengan kalimat “Aku disekap dua lelaki berbadan kekar malam
itu. Dua-duanya cepak, yang satu pakai topi. Satu mobil menunggu beberapa meter
dari arahku. Tak jelas siapa mereka. Tiba-tiba saja kejadiannya. Mulutku
dibekap dari belakang, tubuhku dipanggulnya dan dilempar ke dalam mobil.
Seingatku mobil langsung melaju kencang”. “Aku terus berontak dengan harapan
mereka yang berada di jalanan tahu, ada sandera yang mengharapkan pertolongan
di dalam mobil yang kencang ini”.
Pada peristiwa
ke sebelas terjadi konflik manusia dengan manusia dengan kalimat. “Goblok!” bentak lelaki sambil memukul meja.
Hati ngedumel, tak bisa kulihat dia dengan jelas. Dia duduk memunggungi lubang
kunci. Empat orang yang berada di hadapannya berwajah tegang dan serba salah.
Wajah mereka bisa kukenali satu per satu, walau siapa soal mereka, jelas belum
bisa kutahu. Seseorang berusaha menyela pertanyaan, tetapi si pemilik punggung
bidang ini tambah naik hitam.
Pada peristiwa
kedua belas terjadi konflik manusia dengan manusia dengan kalimat. “Kerja macam apa kalian. Semuanya nihil.
Omong kosong! Omong kosong! Mau ditaruh di mana muka saya? Coba you hitung,
berapa uangku yang dikeluarkan, hanya demi selembar kertas ini. Tapi suara
tujuh kecamatan kemana larinya. Goblok!”
Pada peristiwa
ketiga belas terjadi konflik manusia dengan manusia dengan kalimat. Lelaki itu memaki mereka berjam-jam lamanya.
Tak ada lagi yang berani menyulut rokok sebatangpun. Semua menunduk. Itu
sebagian cuplikan dari peristiwa ketiga belas. Pada peristiwa keenam belas
terjadi konflik manusia dengan manusia dengan kalimat. “Pokonya saya tidak mau tahu, pas waktunya nanti harus dibikin ricuh.
Bila perlu…(dia mengunakan isyarat), ngerti!? Semua ngangguk.
b)
Konflik
Manusia dengan Tuhan
Konflik manusia
dengan Tuhannya terjadi pada peristiwa keempat belas dengan kalimat sebagai
berikut. “Ya Tuhan, apa iya dia
orangnya?” aku menarik napas panjang. Masih sulit kupercaya sebab wajahnya
berhasil kutengok.
c)
Konflik
manusia dengan kata hati
Konflik manusia
dengan kata hati menurut saya berada pada peristiwa ke sepuluh. Pada peristiwa
ini bagaimana si tokoh yang sedang berbicara dengan kata hatinya, seperti
kalimat yang ada dibawah ini.
Pengap. Sedikit cahaya. Cahaya hanya
datang dari enam lubang kecil hawa udara pada dinding. Dan menengok ke dunia
luar cukup dari lubang itu, meski tak bisa kupastikan dimana saat itu kau
berada. Selembar daun pintu tertutup rapat. Mereka menguncinya dari luar.
Sesekali kutengok dari liang kunci, orang-orang yang suaranya kadang terdengar
sampai kemari. Meski samar, yang penting lamat-lamat bisa kukenali beberapa di
antara mereka. Apa yang dibicarakannya. Menebak lantaran urusan apa
sampai-sampai menimpa seorang pelacur yang jelas-jelas (mungkin) tak ada
hubungannya dengan mereka.”
d)
Konflik
manusia dengan batin
Pada peristiwa ke Sembilan terjadi
konflik manusia dengan batin dengan kalimat sebagai berikut.
Maka kupastikan,
pada siang itu aku berbeda dengan kepala orang-orang yang ikut berkerumun di
lapangan. Aku hanya berdiam diri di kamar kontrakkan menghitung banyak rekening
tagihan yang nancap di paku. Serta berusaha kucingan-kucingan dari tagihan
tukang kredit dan rentenir. Sebisa mungkin. Betul, sebisa mungkin…
D. Latar Dalam Cerpen Tersebut
a)
Tempat
/ Ruang
·
Di
dalam mobil
Mulutku dibekap
dari belakang, tubuhku dipanggulnya dan di lempar ke dalam mobil.
·
Di
jalanan, mushola dan gereja
Dicopotnya
baliho-baliho muka calon walikota, pamphlet-pamflet murahan di jalanan dan
tembok-tembok took yang sebagiannya sengaja dipasang di mushola dan gereja.
·
Pom
Bensin
Pom bensin-pom
bensin yang jaraknya berdekatan selalu kehabisan stok bensin dan solar tiap
harinya,
·
Di
pasar, perkampungan, terminal dan stasiun
Kondisi Negara
dan ayat-ayat suci dijual murah lewat
brosur dan mikropon ke pasar-pasar, perkampungan, terminal dan stasiun.
·
Di
kamar kontrakan
Aku hanya
berdiam diri di kamar kontrakan menghitung banyak rekening tagihan yang nancap
di paku.
·
Hotel
Yakinlah
sekarang, dia calon walikota yang berkali-kali membawaku keluar dari kota ini.
Memasuki hotel satu ke hotel lainnya.
·
Di
dalam penjara
Tetapi selang
beberapa hari kemudian, polisi menyergapku dan menjebloskanku ke penjara.
Di dalam
penjara, baru aku tahu kalau pemilihan walikota sudah berakhir tiga pekan yang
lalu.
·
Di
ruang jaga tengah
Dan televisi di
ruang jaga tengah mengabarkan hal itu, menayangkan para calon yang kalah memberikan ucapan selamat kepada
pemenangnya, juga mengabarkan salah satu calon yang depresi karena
kekalahannya.
·
Di
rumah sakit jiwa
Calon walikota
yang depresi itu jadi penghuni rumah sakit jiwa.
·
Di
lapangan
Maka kupastikan,
pada siang itu aku berbeda dengan kepala orang-orang yang ikut berkerumun di
lapangan.
b)
Waktu
·
Malam
Aku disekap dua
lelaki berbadan kekar malam itu (peristiwa pertama).
Bila sudah tak
terdengar suara para penjaga itu, pasti ini sudah larut malam.
·
Siang
Maka kupastikan,
pada siang itu aku berbeda dengan kepala orang-orang yang ikut berkerumun di
lapangan.
c)
Sosial
Dapat dilihat
dari paragraf 2, 5, dan 6
“Kejadian itu persis bersamaan dengan
batas waktu diturunkannya bendera-bendera partai. Dicopotnya baliho-baliho muka
calon walikota, pamflet-pamflet murahan di jalanan dan tembok-tembok toko yang
sebagiannya dipasang di mushola dan gereja. Bisa terbayang hasilnya, bagaimana
hasil robekan-robakan poster sengaja disisakan begitu saja, hingga
bangunan-bangunan publik disulap menjadi sebidang kliping menyakitkan.”
“Dua minggu ini, jalanan dibuat macet
motor dan truk-truk yang ngangkut orang-orang malang dari pelosok desa dan
perkotaan. Mereka tak sadar dirinya sedang dibebani lambang dan warna-warni
partai publik. Keesokan harinya partai yang berbeda ambil giliran memacetkan
jalan raya. Namun anehnya, mereka yang di truk dan motor, itu-itu juga
orangnya. Pesris yang ikut konvoi kemarin dan tempo hari. Mereka ini dalam ilmu
ekonomi liberal bisa dikatakan para penjual jasa terhebat di dunia ketiga.
Sebab dengan cara sesederhana itulah masa depan Negara bisa diukur dengan
berdasar table statistic finansial.”
“Kelakuan mereka bagai pahlawan bagi
negerinya yang kalut. Membela partai seperti membela agama.”
E. Jenis Plot
Satuan peristiwa sudah dapat dipastikan akan terjadi dari
satu titik waktu ke waktu yang lainnya. Plot merupakan berupa
rangkaian-rangkaian peristiwa yang akan terjalin dalam sebuah rangkaian waktu.
Jenis plot dalam cerpen ini menggunakan alur maju-mundur (plot campuran) karena melihat dari satuan-satuan peristiwa,
pengarang menggunakan tahapan waktu yang tidak urut. Pada satuan peristiwa
nomor 1
sampai dengan 9 merupakan pembayangan tokoh “Aku” saat-saat ia di sekap oleh orang tak di kenal.
F. Titik Kisah
Titik kisah
dalam cerpen tersebut menggunakan pandangan persona orang ketiga “Dia” serba
tahu. Pengarang mengetahui watak dan karakter tokoh dan pada cerpen ini jelas
sekali pengarang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata
gantinya ia, dia dan mereka.
G. Gaya Bahasa
1.
Diksi
Kata-kata
betul-betul dipilih agar sesuai dengan apa yang ingin diungkapkan dan ekspresi
yang ingin dihasilkan. Kata-kata yang dipilih bisa dari kosakata sehari-hari
atau formal, dari bahasa lain (bahasa daerah, bahasa asing, dan lain-lain),
bermakna denotasi (memiliki arti lugas, sebenarnya, atau arti kamus) atau
konotasi (memiliki arti tambahan, yakni arti yang ditimbulkan oleh
asosiasi-asosiasi, gambaran-gambaran, ingatan dan perasaan) dari kata tersebut.
Contohnya dalam
paragraf pertama yaitu “Aku disekap dua
lelaki berbadan kekar malam itu. Dua-duanya cepak, yang satu pakai topi. Satu
mobil menunggu beberapa meter dari arahku. Tak jelas siapa mereka. Tiba-tiba
saja kejadiannya. Mulutku dibekap dari belakang, tubuhku dipanggulnya dan
dilempar ke dalam mobil”. Kata itu mencerminkan menggunakan diksi
sehari-hari yang sering kita alami pada umumnya, dan pembahasannya pun ringan
dan mudah dimengerti. Oleh karena itu cerpen ini cocok di baca untuk kalangan
remaja.
2.
Imajinasi
“Pengap.
Sedikit cahaya. Cahaya hanya datang dari enam lubang kecil hawa udara pada
dinding. Dan menengok ke dunia luar cukup dari lubang itu, meski tak bisa
kupastikan dimana saat itu kau berada. Selembar daun pintu tertutup rapat.
Mereka menguncinya dari luar. Sesekali kutengok dari liang kunci, orang-orang
yang suaranya kadang terdengar sampai kemari. Meski samar, yang penting
lamat-lamat bisa kukenali beberapa di antara mereka. Apa yang dibicarakannya.
Menebak lantaran urusan apa sampai-sampai menimpa seorang pelacur yang
jelas-jelas (mungkin) tak ada hubungannya dengan mereka.”
H. Lapis Makna
a)
Tegangan (Supance)
Berdasarkan isi cerpen tersebut banyak
peristiwa yang menegangkan yang terdapat kutipan pada paragraf, sebagai berikut
:
a)
Ketegangan
terjadi pada peristiwa pertama
Dengan kalimat sebagai berikut. Mulutku dibekap dari belakang, tubuhku
dipanggulnyadan dilempar ke dalam mobil.
b)
Ketegangan
terjadi pada peristiwa kesebelas
“Goblok!” bentak lelaki sambil memukul
meja. Hati ngedumel, tak bisa kulihat dengan jelas. Dia duduk memunggungi lubang kunci. Empat orang yang berada di
hadapannya berwajah tegang dan serba salah. Wajah mereka bisa kukenali satu
per satu, walau soal siapa mereka, jelas belum bisa kutahu. Seseorang berusaha
menyela pertanyaan, tetapi si pemilik punggung ini tambah naik hitam.
c)
Ketegangan
terjadi pada peristiwa kedua belas
“kerja macam apa
kalian ini. Semuanya nihil. Omong kosong! Omong kosong! Mau ditaruh di mana
muka saya? Coba
you hitung, berapa uangku yang
dikeluarkan, hanya demi selembar kertas ini. Tapi suara tujuh kecamatan itu
kemana larinya. Goblok!
d)
Ketegangan
terjadi pada peristiwa ketiga belas
Lelaki
itu memaki mereka berjam-jam lamanya. Tak ada lagi yang berani menyulut rokok
sebatangpun. Semua menunduk. Dia mondar-mandir, tetapi masih belum bisa kulihat
wajahnya. Sesuatu terjatuh dari dadanya, semacam idcard tergeletak di ubin. Aku
berusaha keras menajamkan pandangan ke ubin alhasil sebuah nama cukup jelas
terbaca.
e)
Ketegangan
terjadi pada peristiwa keduapuluh tiga
“Dor!!”
sontak bunyi letusan itu menghapus mimpiku. Bunyi letusan senapan itu keras
sekali, di luar pintu itu kayaknya. Aku berlari ke arah pojokan dinding menutup telinga dan
menunduk. Maut serasa telah mendekat kepadaku. Aku tak bisa meredakan
ketakutan, keringat dingin dan dada mengap semakin menjadi. Ada bunyi seseorang
yang membuka kunci kamar ini dari luar, dan aku pasrah jika harus mati hari
ini. Ada darah masuk lewat bawah pintu. Darah diakah yang membukakan pintu
untukku?
Ketegangan yang saya cantumkan diatas
adalah bukti bagaimana dalam sebuah cerpen jika kita menganalisis baik dengan
pendekatan sosiologi atau secara stuktural, dalam sebuah cerpen tentunya banyak
peristiwa yang kita temukan khusunya pada Ketegangan (Subpance). Tidak pernah
lepas dari sebuah cerpen tidak hanya kita melihat dari tahapan peristiwa saja,
tetepi secara keseluruhan kita akan lebih mudah mengetahui bagaimana dalam
sebuah cerpen terjadi ketegangan dan sebagainya.
b)
Nada (Feeling)
Pandangan
pengarang terhadap cerpennya ingin memberikan pengalaman bagaimana seorang
pengarang yang hendak menulis sebuah cerpen, hanya melalui perjumpaan dengan beberapa tokoh, nama-nama tempat, atau orang-orang
sekilas yang dalam dunia nyata saya temui, baik di dalam bis, kereta, pasar,
kedai, mall / plaza, dan sebagainya. Sebab
dari mereka kehidupan ini terasa berwarna. Pada mulanya saya hanya
mendengarkan seseorang bercerita tentang riwayat hidupnya yang begitu unik dan
berapi-api, atau cukup menyaksikan tayangan berita di layar kaca juga Koran
yang belakangan dominan menginformasikan kecemburuan social. Dan saya betah
menjadi pendengar setia saja. Itu cuplikan bagaimana seorang pengarang dari
awal pembuatan sebuah cerpen bahkan kumpulan-kumpulan cerpennya yang terdiri
dari beberapa judul, saya sengaja mengambil kutipannya dari cerpennya yang
berjudul “Istri Tanpa Clurit”.
Tepatnya mengambil dari Pengantar Pendek Tentang Perjumpaan yang Panjang. Cukup
sederhana dan jelas, bahwa dalam menulis sebuah cerita harus didasari dengan
ketulusan hati ujarnya yang pernah disampaikan ke saya sebagai pencinta
karyanya juga. Cerita yang dia tulis tidak terlepas dari kehidupannya
sehari-hari, apa yang terjadi di lingkungan sekitar entah di pasar, terminal,
stasiun dan sebagainya. Begitulah ujarnya.
Dibawah ini ada
kutipan dari alur peristiwa yang mengisahkan para tokoh dalam percakapan atau
peristiwa yang terjadi. Dalam menganalisis cerpen ini bukan hanya menganalisis
sesuai dengan sikap pengarang terhadap suatu objek yang diceritakan tetapi saya
mencoba menentukan nada sesuai dengan nada yang terjadi pada sebuah alur cerita
yang ada pada cerpen ini atau bisa dikatakan seorang pembaca dalam membaca
suatu cerpen secara langsung.
“Dor!!”
sontak bunyi letusan itu menghapus mimpiku. Bunyi letusan senapan itu keras
sekali, di luar pintu itu kayaknya.
Itu sepenggal
kalimat yang terlihat jelas bagaimana nada (Feeling) ada pada alur cerita.
c)
Suasana (Tone)
Perasaan yang
timbul setelah membaca cerpen tersebut timbul rasa marah, benci, gemas, sedih
dan terdapat pada kutipan yang telah tertulis dibawah atau suasana yang terjadi
dalam cerpen yang berhubungan dengan perasaan sedih, senang terhadap tokoh
dalam cerita, saya hanya akan mengambil salah satu bagaimana dalam sebuah
cerpen terdapat suasana baik itu sedih, senang, marah, sunyi atau sebagainya.
Dengan contoh sebagai berikut :
Entah sudah kuhabiskan berapa minggu dalam kamar ini. Segalanya serba tidak aku
ketahui selain desas-desus mereka yang ditugaskan menjagaku. Tidak ada satupu
yang bisa kuperbuat di sini, selain menunggu kapan pintu kamar ini segera
dibuka dan membiarkan aku menjalani hidup seperti biasannya. Aku bersumpah
tidak mungkin untuk mengatakan apapun tentang semua peristiwa ini. Peristiwa
keduapuluh satu.
Bila sudah tak
terdengar suara para penjaga itu, pasti ini sudah larut malam. Seperti begitu
aku memutuskan perhitungan waktu setiap harinya. Peristiwa
keduapuluh dua.
Suasana
yang terjadi pada cerita itu semuanya juga timbul suasana dari paragraf pertama
sampai paragraf terakhir hanya saja saya lebih dominan ke peristiwa duapuluh
satu dan duapuluh dua, karena tokoh aku benar-benar merasakan suasana
sepertinya selayaknya dia di sekap dalam sebuah ruangan atau kamar.
d)
Tema
Sosial
Karena pada
cerpen yang berjudul “Pelacur yang Disekap Sehari
Menjelang Pemilukada”. Sangat berhubungan
erat dengan kesosialan setelah saya membaca dan meneliti dari awal sampai akhir
cerita. Jelas sekali sangat kental ke sosial, cerita pendek ini khususnya pengarang
dalam membuat cerita pendek ini tidak terlepas dari kehidupan sehari-harinya
misalnya pengarang ingin memberikan
pengalaman bagaimana seorang pengarang yang hendak menulis sebuah cerpen,
secara langsung
Pada cerpen ini berhubungan dengan
politik, kriminal, masyarakat secara luas, partai dan sebagainya. Sehingga
cerpen ini sangat cocok jika menggunakan tema sosial. Selain itu tokoh yang ada
pada cerpen tersebut adanya interaksi antar tokoh satu dengan lainnya dengan
konflik manusia dengan manusia, manusia dengan tuhannya, manusia dengan kata
hati dan manusia dengan batinnya.
e)
Amanat
Amanat yang
ingin saya sampaikan, jangan menganggap rendah dan hina orang-orang yang di
anggap kotor berada dimasyarakat seperti para pelacur dan sebagainya, orang
seperti itupun punya akal dan pikiran yang sama seperti kita terkadang mereka
lebih tahu lebih jauh kebusukan para pejabat-pejabat yang sering melakukan hal
yang sangat tidak bermoral seperti membayar para wanita bayaran untuk
kenikmatan sesaat. Dan yang tinggi jangan merasa tinggi derajatnya di hadapan
orang yang lebih rendah. Karena tidak selamanya yang kecil selalu dibawah dan
tidak selamanya yang direndah selalu derajatnya dibawah. Karena kemungkinan
mereka yang lebih tahu lebih jauh kebusukan mereka yang merasa tinggi dengan
derajatnya yang selalu memperlihatkan bahwa dia paling segalanya, berkuasa,
merasa hebat sendiri dan menganggap enteng terhadap orang-orang rendah, padahal
akal busuknya ada musuhnya kelak yang akhirnya menjadi belenggu di
kehidupannya.